Mohon tunggu...
Syadad Kaisinnabil
Syadad Kaisinnabil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Islam

Economics and Financial Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dilema Kelas Menengah Indonesia: Menikmati atau Bertahan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

1 Oktober 2024   11:26 Diperbarui: 1 Oktober 2024   11:37 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Banting tulang, makan tabungan dan penuh kekhawatiran adalah deskripsi yang sesuai untuk menggambarkan kelas menengah belakangan ini.

Di tengah situasi ekonomi yang terus bergejolak, masyarakat kelas menengah di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Banting tulang, makan tabungan dan penuh kekhawatiran adalah deskripsi yang sesuai untuk menggambarkan kelas menengah belakangan ini.  Ketidakstabilan ini tidak hanya sekedar persoalan ekonomi makro yang terlihat dari indikator seperti inflasi dan tingkat pengangguran, tetapi juga menjadi kenyataan pahit yang dirasakan oleh individu dan keluarga di tingkat mikro. 

Ketika badai pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda sektor-sektor industri utama, tekanan semakin dirasakan oleh mereka yang berada di garis tengah ekonomi. Mereka tidak hanya berjuang untuk mempertahankan pekerjaan, tetapi juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa harga kebutuhan pokok terus melonjak sementara pendapatan yang diperoleh sering kali berada di ambang batas upah minimum.

Alarm berdentang kencang menyiratkan jumlah kelas menengah yang merosot seharusnya menjadi pengingat pemerintah untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan bagi kelas menengah. Fenomena itu terjadi setelah BPS merilis data datanya pada Agustus lalu. Laporan BPS menunjukkan proporsi kelas menengah pada 2024 tercatat sebesar 47,85 juta jiwa, melorot dibandingkan periode pra pandemi COVID-19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. 

Sebaliknya, kelompok aspiring middle class atau kelas menengah rentan menunjukkan peningkatan jumlah, yakni dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024. Jumlah kelompok miskin pun meningkat menjadi 25,22 juta jiwa, sedikit lebih tinggi dari 25,14 juta jiwa pada 2019. Hal ini berpotensi menghambat pencapaian kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan melemahkan kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional.

Kelas menengah, yang sering dianggap sebagai tulang punggung perekonomian karena perannya dalam mendukung daya beli domestik, kini berada di persimpangan antara menikmati hidup dan sekadar bertahan hidup. Pergulatan untuk mempertahankan kualitas hidup di tengah situasi sulit ini semakin nyata, terutama ketika mereka harus mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makanan, pendidikan anak, dan kesehatan. Mereka berusaha untuk tetap berdiri tegak menjaga standar hidup yang selama ini sudah diperjuangkan, meski dengan pengorbanan yang semakin besar. 

Turunnya kelas menengah juga berisiko memperlemah daya beli masyarakat dan menurunkan kontribusi pajak yang mereka sumbangkan. Padahal, menurut LPEM FEB UI, kelas menengah memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui pajak, yang pada 2022 tercatat sebesar 9,1 persen dari PDB Indonesia. Jika tren ini terus berlanjut, bukan hanya fiskal negara yang terancam, tetapi juga keberlangsungan berbagai program pembangunan. Kelas menengah memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan penerimaan pajak; apabila daya beli kelompok ini menurun, maka kontribusi pajak mereka juga berpotensi berkurang. Situasi ini dapat memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah, sehingga berdampak pada kemampuan pemerintah dalam menyediakan layanan publik dan membiayai proyek pembangunan yang esensial.

Fenomena ini memunculkan ironi tersendiri. Kelas menengah, yang sering digambarkan sebagai kelompok yang relatif stabil secara ekonomi, kini menghadapi dilema antara mempertahankan gaya hidup yang layak dan mengamankan masa depan keluarga mereka di tengah ketidakpastian yang kian memburuk. Melambungnya harga bahan pokok bukan hanya berdampak pada daya beli, tetapi juga mempengaruhi psikologi sosial mereka. 

Kehidupan yang dahulu mungkin diwarnai dengan harapan dan ambisi untuk naik kelas, kini bergeser menjadi perjuangan untuk tetap bertahan di tengah ketidakpastian yang terus melingkupi. Dalam konteks ini, pemerintah akan menghadapi tantangan keuangan yang semakin berat. Jika tekanan untuk meningkatkan pengeluaran publik demi subsidi semakin meningkat, hal ini akan mempengaruhi rasio pajak terhadap PDB dan memperumit upaya pemerintah untuk mencapai keberlanjutan fiskal serta mempertahankan pertumbuhan ekonomi. 

Disisi lain, ada perubahan mencolok dalam pola konsumsi kelas menengah. Prioritas pengeluaran untuk perumahan dan makanan menunjukkan tren penurunan, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan keperluan pesta mengalami kenaikan signifikan. Dari data yang ada, pengeluaran untuk makanan dan minuman yang semula menyerap 45,5 persen dari total pengeluaran kelas menengah pada 2014 kini menurun menjadi 41,67 persen. Sementara itu, pengeluaran untuk perumahan turun dari lebih dari 32 persen menjadi sekitar 28,5 persen. 

Sebaliknya, belanja untuk hiburan meningkat dari 0,22 persen pada 2014 menjadi 0,38 persen pada 2024, dan pengeluaran untuk pesta melonjak dari 0,75 persen menjadi 3,18 persen dalam periode yang sama. Perubahan ini menunjukkan bahwa hiburan yang dulunya dianggap sebagai kebutuhan tersier kini telah bertransformasi menjadi prioritas utama, yang mengakibatkan berkurangnya alokasi dana untuk kebutuhan dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun