Banting tulang, makan tabungan dan penuh kekhawatiran adalah deskripsi yang sesuai untuk menggambarkan kelas menengah belakangan ini.
Di tengah situasi ekonomi yang terus bergejolak, masyarakat kelas menengah di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Banting tulang, makan tabungan dan penuh kekhawatiran adalah deskripsi yang sesuai untuk menggambarkan kelas menengah belakangan ini. Â Ketidakstabilan ini tidak hanya sekedar persoalan ekonomi makro yang terlihat dari indikator seperti inflasi dan tingkat pengangguran, tetapi juga menjadi kenyataan pahit yang dirasakan oleh individu dan keluarga di tingkat mikro.Â
Ketika badai pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda sektor-sektor industri utama, tekanan semakin dirasakan oleh mereka yang berada di garis tengah ekonomi. Mereka tidak hanya berjuang untuk mempertahankan pekerjaan, tetapi juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa harga kebutuhan pokok terus melonjak sementara pendapatan yang diperoleh sering kali berada di ambang batas upah minimum.
Alarm berdentang kencang menyiratkan jumlah kelas menengah yang merosot seharusnya menjadi pengingat pemerintah untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan bagi kelas menengah. Fenomena itu terjadi setelah BPS merilis data datanya pada Agustus lalu. Laporan BPS menunjukkan proporsi kelas menengah pada 2024 tercatat sebesar 47,85 juta jiwa, melorot dibandingkan periode pra pandemi COVID-19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa.Â
Sebaliknya, kelompok aspiring middle class atau kelas menengah rentan menunjukkan peningkatan jumlah, yakni dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024. Jumlah kelompok miskin pun meningkat menjadi 25,22 juta jiwa, sedikit lebih tinggi dari 25,14 juta jiwa pada 2019. Hal ini berpotensi menghambat pencapaian kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan melemahkan kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional.
Kelas menengah, yang sering dianggap sebagai tulang punggung perekonomian karena perannya dalam mendukung daya beli domestik, kini berada di persimpangan antara menikmati hidup dan sekadar bertahan hidup. Pergulatan untuk mempertahankan kualitas hidup di tengah situasi sulit ini semakin nyata, terutama ketika mereka harus mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makanan, pendidikan anak, dan kesehatan. Mereka berusaha untuk tetap berdiri tegak menjaga standar hidup yang selama ini sudah diperjuangkan, meski dengan pengorbanan yang semakin besar.Â
Turunnya kelas menengah juga berisiko memperlemah daya beli masyarakat dan menurunkan kontribusi pajak yang mereka sumbangkan. Padahal, menurut LPEM FEB UI, kelas menengah memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui pajak, yang pada 2022 tercatat sebesar 9,1 persen dari PDB Indonesia. Jika tren ini terus berlanjut, bukan hanya fiskal negara yang terancam, tetapi juga keberlangsungan berbagai program pembangunan. Kelas menengah memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan penerimaan pajak; apabila daya beli kelompok ini menurun, maka kontribusi pajak mereka juga berpotensi berkurang. Situasi ini dapat memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah, sehingga berdampak pada kemampuan pemerintah dalam menyediakan layanan publik dan membiayai proyek pembangunan yang esensial.
Fenomena ini memunculkan ironi tersendiri. Kelas menengah, yang sering digambarkan sebagai kelompok yang relatif stabil secara ekonomi, kini menghadapi dilema antara mempertahankan gaya hidup yang layak dan mengamankan masa depan keluarga mereka di tengah ketidakpastian yang kian memburuk. Melambungnya harga bahan pokok bukan hanya berdampak pada daya beli, tetapi juga mempengaruhi psikologi sosial mereka.Â
Kehidupan yang dahulu mungkin diwarnai dengan harapan dan ambisi untuk naik kelas, kini bergeser menjadi perjuangan untuk tetap bertahan di tengah ketidakpastian yang terus melingkupi. Dalam konteks ini, pemerintah akan menghadapi tantangan keuangan yang semakin berat. Jika tekanan untuk meningkatkan pengeluaran publik demi subsidi semakin meningkat, hal ini akan mempengaruhi rasio pajak terhadap PDB dan memperumit upaya pemerintah untuk mencapai keberlanjutan fiskal serta mempertahankan pertumbuhan ekonomi.Â
Disisi lain, ada perubahan mencolok dalam pola konsumsi kelas menengah. Prioritas pengeluaran untuk perumahan dan makanan menunjukkan tren penurunan, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan keperluan pesta mengalami kenaikan signifikan. Dari data yang ada, pengeluaran untuk makanan dan minuman yang semula menyerap 45,5 persen dari total pengeluaran kelas menengah pada 2014 kini menurun menjadi 41,67 persen. Sementara itu, pengeluaran untuk perumahan turun dari lebih dari 32 persen menjadi sekitar 28,5 persen.Â
Sebaliknya, belanja untuk hiburan meningkat dari 0,22 persen pada 2014 menjadi 0,38 persen pada 2024, dan pengeluaran untuk pesta melonjak dari 0,75 persen menjadi 3,18 persen dalam periode yang sama. Perubahan ini menunjukkan bahwa hiburan yang dulunya dianggap sebagai kebutuhan tersier kini telah bertransformasi menjadi prioritas utama, yang mengakibatkan berkurangnya alokasi dana untuk kebutuhan dasar.
Di tengah stagnasi pendapatan dan kebutuhan yang terus meningkat, kelas menengah semakin terjepit, yang berdampak pada stabilitas keuangan mereka. Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai stimulus untuk mempertahankan kelas menengah, yang berfungsi sebagai pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi. Data LPEM FEB UI menunjukkan bahwa kelas menengah menyumbang 50,7 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan calon kelas menengah menyumbang 34,5 persen. Kontribusi ini sangat penting untuk mendanai program pembangunan publik, termasuk investasi infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan bahwa peranan kelas menengah sangat vital dalam mendorong visi Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, perhatian khusus perlu diberikan untuk memastikan kesejahteraan kelas menengah. Berbagai program yang diluncurkan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup kelas menengah, termasuk program perlindungan sosial, subsidi, insentif perpajakan, bantuan iuran kesehatan, serta Kredit Usaha Rakyat (KUR). Juga, inisiatif seperti Kartu Prakerja diharapkan dapat berfungsi sebagai jaring pengaman bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Melalui berbagai upaya ini, pemerintah berharap dapat mengangkat kesejahteraan kelas menengah dan, pada gilirannya, meningkatkan kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional.
Kondisi ini sekilas mencerminkan kegagalan sistemik dalam menciptakan kebijakan ekonomi yang inklusif bagi kelas menengah. Pemerintah, yang seharusnya berperan sebagai penopang di saat-saat kritis, sering kali tidak mampu memberikan solusi yang memadai. Kebijakan seperti subsidi atau bantuan sosial seringkali lebih diarahkan kepada kelompok masyarakat miskin, sementara kelas menengah yang berada di persimpangan antara kemakmuran dan kemiskinan seringkali diabaikan. Akibatnya, kelompok ini terjebak dalam situasi di mana mereka tidak cukup miskin untuk menerima bantuan, namun juga tidak cukup kaya untuk benar-benar bebas dari ancaman kemiskinan.Â
Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai stimulus dan insentif fiskal untuk mempertahankan kelas menengah, seperti subsidi, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Kartu Prakerja, kebijakan tersebut dinilai belum cukup untuk mengatasi penurunan kelas menengah secara menyeluruh. Tanpa penciptaan lapangan kerja formal yang lebih luas, terutama di sektor industri manufaktur, kelas menengah diprediksi akan terus menyusut, dan memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Ini tidak hanya berbahaya bagi stabilitas ekonomi, tetapi juga meningkatkan risiko sosial-politik di masa depan.Â
Pemerintah yang baru di bawah Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar untuk mencari solusi jangka panjang guna memperbaiki kondisi ini. Dibutuhkan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam, tetapi juga yang mampu menciptakan lapangan kerja yang lebih merata, sehingga visi Indonesia menjadi negara maju pada 2045 dapat tercapai. Untuk itu, investasi dalam sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, transformasi ekonomi melalui hilirisasi, dan tata kelola pemerintahan yang baik menjadi kunci utama yang harus dipenuhi.
Realitas ini memperlihatkan betapa rentannya posisi kelas menengah di Indonesia. Ketika badai ketidakpastian ekonomi datang, mereka tidak hanya kehilangan stabilitas finansial, tetapi juga mulai kehilangan rasa aman dan kepastian terhadap masa depan. Pertarungan mereka untuk tetap berdiri tegak, untuk anak, keluarga, dan kehormatan, menjadi potret tragis dari sistem ekonomi yang rapuh dan ketidakmampuan pemerintah untuk merespons dengan cepat dan tepat. Ini adalah perjuangan kelas menengah untuk tidak hanya sekedar hidup, tetapi juga menjaga martabat dan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi dalam situasi yang serba sulit. Bagi mereka saat ini, menikmati hidup sering kali harus dikesampingkan demi sekedar bertahan hidup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H