Anggraeni, melalui surat ini. ingin rasanya hati menghardik kegelisahanmu. Perihal melihat wajahmu yang sedang cemberut kerut rautmu.
Anggraeni, apakah kau sedang sakit hati? Karena seharian aku tak membuatkan satupun puisi tentangmu. Atau malah kau sedang jenuh dengan puisi-puisi yang tercipta dariku?
Anggraeni, tepat tanggal 28 Oktober besok, tepat di hari ulang tahunku, tepat juga kita menjalankan hubungan selama 1 tahun. Tapi sampai saat ini aku masih bingung dengan hubungan yang kuta jalani dengan terjal.
Perihal waktu aku menembakmu, aku membacakan puisi isi hatiku di depan ayah ibu. Sekilas aku melirikmu, kau senyum tersipu malu dan mengangguk tanda setuju setelah ibu memberi restu.
Kau masih ingatkan apa isi puisi yang kubajakan? Kalau kau lupa, sebentar aku masih menyimpan dengan aman. Coba baca lagi ya!
"Anggraeni, Jatuh cintalah pada seorang penulis. Kau akan dia abadikan dalam bait-bait puisi, paragraf-paragraf cerita. Namun kau harus bisa menerima konsekuensinya---
masa lalunya abadi juga.
Jatuh cintalah pada seorang penulis. Namamu akan dia ubah-ubah untuk memakan tempat dalam setiap cerita. Kau akan bisa melihat dirimu dalam setiap dunia yang diciptakannya.
Jatuh cintalah pada seorang penulis, Anggraeni. Semua orang akan tahu seberapa dicintainya dirimu. Tapi juga semua sisi burukmu, dan setiap kesalahanmu.
Jatuh cintalah pada seorang penulis. Sakit hatinya akan dia jadikan mahakarya. Dan kau mungkin akan menjadi sebagian dari kejayaannya. Dia akan menulis tentangmu hingga tak lagi bisa.
Jatuh cintalah pada seorang penulis. Kau akan mulai mempertanyakan apa yang dilihatnya setiap bersamamu; manusia yang dicintainya, atau hanya sekadar bahan untuk menciptakan segumpal aksara."
Setelah malam aku menembakmu dengan puisi waktu itu. Kau selalu meminta aku menulis satu puisi tentangmu. Setiap hari dalam waktu hampir satu tahun, Anggraeni. Jujur, habis kata-kataku untuk memujamu.
Maaf, bukan maksud hati sudah bosan denganmu. Tapi sehebat apapun pujangga cinta. Pasti akan merasakan hal yang sama.
Anggraeni, sudah panjang kali lebar surat ini aku tulis. Aku tak mau berkelumit dalam hubungan kita.
Dalam kesempatan kali ini. Dalam surat cinta yang kutulis dengan khidmat ini. Izinkan aku menaruh satu pertanyaan untukmu. Perihal kebiasaanmu selama ini.
Perihal aku di sini, mencintaimu dari hati, bukan karena akan tercipta puisi.
Anggraeni, kau mencintaiku atau puisiku?
Itu saja, semoga aku akan segera mendaptkan surat balasan darimu.
Jaga diri baik-baik, jaga hatimu Anggraeni.
Salam
Le Putra Marsyah.
Kediri, 08 Oktober 2020
Catatan:
Puisi ini sudah tayang di web Secangkir Kopi Bersama. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H