Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Abdul Azis, adalah seorang penikmat seni, dari seni sastra, teater, hingga tarian daerah terkhusus kuda lumping. Berasal dari kota Kediri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Episode 1: Tuto Coronawati

29 September 2020   08:16 Diperbarui: 29 September 2020   08:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuto Coronawati
_______________
Nama gadis itu Tuto Coronawati. Gadis mata senja yang melirik riak air hujan usai petir kegelisahan terus menyambar dan menyamar. Bibir pagi yang tumpah di antara pulau rindu hingga pilu waktu. Termangu pada selah-salah, kerdil lengannya langkah kecil itu terus saja patah. Kadang ia mengalah, tenang di setiap sisi sisa-sisa pulang.

Pukul 07:00 WITA untuk 13 Agustus 2020. Udara masih begitu basah menyentuh bekas-bekas mimpi. Sunyi merambat, sepi menyumbat. Aroma dapur ibu perlahan memenuhi isi kamarku. Ikan goreng dan suara TV para demonstran menggelinding menghiasi sapaan hari itu.

Ya, begitulah situasi rumah yang setia hadir menghibur. Mengubur segala resah, batuk Ayah menggoda menyentuh pinggang gelas kopinya ketika aku resah untuk sebuah pulang pada sua yang begitu mesra.

" Kopong. Hari ini kamu bantu ibu pergi pasar ya?."

Ibu menyodorkan kalimat yang bagiku itu adalah sebuah tembakan. Hadir begitu teduh dengan peluru-peluru yang sepertinya tiada lagi rumah.

" Tapi Bu. Hari ini saya harus mengikuti kuliah online. Ada begitu banyak tugas yang harus saya selesaikan. "
Jawabku singkat pada ibu.

" Baiklah. Semoga kamu tak berbohong pada ibu ya?. Jika itu sampai terjadi, maka Ibu tak akan mengisi lagi kuota internetmu."

" Benar Bu. Kopong tak berbohong. Untuk apa Kopong berbohong sedangkan sering perkuliahan yang Kopong lakukan di hadapan Ibu. "

Kali ini begitu banyak perasaan bercampur aduk. Ikut ke pasar atau duduk menghadap android menunggu jadwal kuliahku?. Entahlah, pandemi ini membuat diriku sulit menentukan sesuatu yang lebih pasti.

" Anak-anak. Hari ini kita mulai perkuliahan seperti Minggu kemarin. Silahkan gabung di Google Meet sesuai dengan link yang sudah ibu kirimkan ke group kelas. "

Mataku seketika menyala ketika redupnya menyambut sepanjang lorong pagi ini. Pesan perkuliahan dari salah satu dosen masuk dengan cara yang begitu sejuk, meski tak ada yang berdiri memeluk. Pendek dengan tubuh bahasa suruhan.

" Terima kasih ibu. Terima kasih Ibu. Terima kasih Ibu."
Berulang kali ucapan terima kasih memenuhi layar HPku. Dalam liang hati, terpangku sebuah pertanyaan :

Bisa atau tidak langsung di kerjakan tanpa harus banyak berbicara soal suruhan itu?. Ataukah hanya sekedar memastikan bahwa mereka adalah salah satu dari sekian orang yang baru mengenal hal sedemikian?. Ah, belakangan ini orang-orang mulai terlihat begitu aneh.

35 menit ku pastikan tugas itu dapat selesai, agar aku punya waktu untuk membantu ibu. Banyak jalan ku temui di sana. Salah satunya adalah kebingungan.

Bingung sebab sudah beberapa kali tugas yang di berikan ku kerjakan dengan menyalinnya dari google. Apakah ini salah satu fungsi mencerdaskan anak bangsa?. Ataukah fungsi lain dari mental instan?. Tapi sudalah, ini adalah salah satu kewajiban di tengah wabah yang menimpah bumi sekarang.

Dalam keadaan apapun, kita harus mampu memilih dan memilah. Mencerna dengan bijak tanpa menggap ini sebuah tekanan yang begitu kuat. Alangkah baiknya jika rutinitas kegiatan belajar mengajar tetap berjalan sesuai apa yang telah di tentukan dari lembaga yang berwenang.

" Kopong!. Jika kuliahnya sudah selesai. Jangan lupa untuk menyiapkan diri menjadi narasumber kegiatan karangtaruna besok."

Suara ibu membuatku teringat dengan agenda dan isi surat yang diberikan oleh ketua panitia penyelenggara kegiatan itu. Surat yang dibungkus dengan keberanian dan awal yang baik.

Sudah 3 ( tiga ) tahun karangtaruna terlepas dari pandangan pemerintah daerah. Akhirnya dengan musyawarah dan pandangan perubahan, banyak anak muda sepakat untuk kembali menghidupkan jantung desa itu.

16 Agustus 2020.
Matahari perlahan mencubit bukit. Lembah-lembah melambai pada embung-embun. Kicauan burung patah di bibir pohon. Langkah awan membuka langit agar birunya perlahan menyentuh bumi.

Di tiang atap, asap-asap mulai berkeliaran dengan aromanya yang berbeda-beda. Ada yang jeda, ada yang tiba, dan ada yang pergi lalu memili mati tanpa muka.

" Kopong. Bangun sudah!. "
" Iya Ma."
" Iyanya jangan di tempat!."
" Sedikit lagi Ma."
" Sedikit lagi atau sedetik lagi."
" Sejam Ma."

Rasa kesal mulai menguasai tubuhku.

" Kenapa Ibu begitu antusias dengan kegiatan ini?. Kenapa Ibu begitu peduli dengan hal ini?. Kenapa tidak sekalian Ibu yang menawarkan diri untuk menggantikan posisiku sebagai narasumber dalam pelaksanaan kegiatan ini?."

Kata-kata ini perlahan ku rapatkan saja dalam benakku, sebab tak mungkin dan tak akan terjadi jika ku katakan langsung untuk di dengar Ibu.

" Kopong!. Ini sudah jam berapa?. Kenapa membatu dalam kamar?. Ataukah kamu tidak bisa ke sana?. Jika tidak bisa sampaikan ke ketua panitianya. Biar kamu di ganti saja oleh orang lain."

" Iya Ma. Ini sudah bangun dan mau mandi Ma. Jangan terusan tensi Ma. Nanti cepat tua."

( Tapi kan mama sudah tua?. Kenapa saya mengatakan hal ini?. Sungguh begitu konyol. Pandemi ini juga kadang membuat ruang berpikir kita hilang gerak.

Pukul 09:00 WITA. Kegiatan pelantikan Karangtaruna di buka resmi oleh Kepala Desa. Sorak Sorai mulai bercahaya di wajah anak-anak muda. Akhirnya doa mereka terjawab setelah beberapa tahun di jarah vakum karena perbedaan pendapat antara pengurus anggota.

" Untuk semua anak muda yang terhimpun dalam wadah ini. Semoga apa yang kita inginkan bersama, dapat terjawab dengan perbuatan-perbuatan membangun."
"Ciptakan kerja sama yang harmonis antara sesama anggota. Jadilah mitra untuk kepentingan kelompok bukan individu. Saling mendukung dan terus mendorong antar sesama. Tinggalkan kejadian masa kemarin sebagai bahan kita belajar dan kembali mengejar. Kemerdekaan tanah ini ada di tangan kalian. Merdeka!. Merdeka!. Merdeka!."

Sambutan penutup Kepala Desa ini begitu berdaging. Isinya kaya akan arti. Semoga anak muda yang terlibat hari ini di sadarkan oleh apa yang telah di sampaikan oleh pimpinan lembaga daerah itu.

" Maaf. Saya tidak sengaja."
Begitu terang suara itu. Suara yang membuatku sebentar berhenti melangkah. Suara yang seakan menghipnotisku ke alam bawah sadar. Suara mungil yang di panggang dari seorang gadis mata bulan.

" Maaf kak. Saya tidak sengaja."
" Oh tidak apa-apa."
" Sekali lagi maaf kak."

Ikal rambut hitam itulah yang membawaku kepada sebuah buku tentang kejadian wabah hari ini. Kejadian dari sisi sederhana tanpa renacana. Kejadian yang mungkin seperti sebuah sejarah ataupun serakah. Menerka hanya membuat bidikan kita hilang sisi perhatian.

" Nama kamu siapa?. Sudah lama jadi anggota Karangtaruna?."

Tak terbayangkan jika ini ku mulai dengan Apa dan berkahir dengan bagaimana?. Bagiku ini sebuah tintah mencapai tanda perkenalan.

" Nama saya Tuto Coronawati. Untuk lama ataupun baru. Kenapa harus kita pertanyakan?."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun