Rasa kesal mulai menguasai tubuhku.
" Kenapa Ibu begitu antusias dengan kegiatan ini?. Kenapa Ibu begitu peduli dengan hal ini?. Kenapa tidak sekalian Ibu yang menawarkan diri untuk menggantikan posisiku sebagai narasumber dalam pelaksanaan kegiatan ini?."
Kata-kata ini perlahan ku rapatkan saja dalam benakku, sebab tak mungkin dan tak akan terjadi jika ku katakan langsung untuk di dengar Ibu.
" Kopong!. Ini sudah jam berapa?. Kenapa membatu dalam kamar?. Ataukah kamu tidak bisa ke sana?. Jika tidak bisa sampaikan ke ketua panitianya. Biar kamu di ganti saja oleh orang lain."
" Iya Ma. Ini sudah bangun dan mau mandi Ma. Jangan terusan tensi Ma. Nanti cepat tua."
( Tapi kan mama sudah tua?. Kenapa saya mengatakan hal ini?. Sungguh begitu konyol. Pandemi ini juga kadang membuat ruang berpikir kita hilang gerak.
Pukul 09:00 WITA. Kegiatan pelantikan Karangtaruna di buka resmi oleh Kepala Desa. Sorak Sorai mulai bercahaya di wajah anak-anak muda. Akhirnya doa mereka terjawab setelah beberapa tahun di jarah vakum karena perbedaan pendapat antara pengurus anggota.
" Untuk semua anak muda yang terhimpun dalam wadah ini. Semoga apa yang kita inginkan bersama, dapat terjawab dengan perbuatan-perbuatan membangun."
"Ciptakan kerja sama yang harmonis antara sesama anggota. Jadilah mitra untuk kepentingan kelompok bukan individu. Saling mendukung dan terus mendorong antar sesama. Tinggalkan kejadian masa kemarin sebagai bahan kita belajar dan kembali mengejar. Kemerdekaan tanah ini ada di tangan kalian. Merdeka!. Merdeka!. Merdeka!."
Sambutan penutup Kepala Desa ini begitu berdaging. Isinya kaya akan arti. Semoga anak muda yang terlibat hari ini di sadarkan oleh apa yang telah di sampaikan oleh pimpinan lembaga daerah itu.
" Maaf. Saya tidak sengaja."
Begitu terang suara itu. Suara yang membuatku sebentar berhenti melangkah. Suara yang seakan menghipnotisku ke alam bawah sadar. Suara mungil yang di panggang dari seorang gadis mata bulan.
" Maaf kak. Saya tidak sengaja."
" Oh tidak apa-apa."
" Sekali lagi maaf kak."