Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Abdul Azis, adalah seorang penikmat seni, dari seni sastra, teater, hingga tarian daerah terkhusus kuda lumping. Berasal dari kota Kediri

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rindu Memanggil Gigil Ko

21 September 2020   12:42 Diperbarui: 21 September 2020   12:43 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Untuk yang sedang merindukan ayahnya di penginapan terakhir."

Rindu Memanggil Gigil
_________
Ayah...
Jika matahari masih mampu mendekatkan kita menjadi cerita antara cinta dan kedip suara. Aku ingin kau duduk menceritakan kembali aroma perjuangan yang kau sembunyikan. Asin langkah yang tak habis-habis menyentuh tanah.

Tubuh setia yang kau gendong-gendong menghadang peluru waktu. Restumu yang utuh didasar pesan :

" Anakku. Jika suatu hari nanti kau sudah benar-benar sukses. Pulanglah dan hiasilah rumah yang sedang bocor karena, ketidakmampuan ayah ini. Atapi dengan tulus. Dan biarkan pintunya selalu terbuka untuk kita yang tak lupa menaburinya makna."

Ayah...
Masikah keributan subuh itu terdengar?. Kau merangkul satu botol air, lalu meninggalkan pelukan hangat di keningku. Dan entah apa yang kau hadapi diluar sana. Bagiku segalanya telah menjadi kawanmu agar kami tak kedinginan didalam sana.

Ayah...
Ibu telah membuatkanmu kopi hangat. Dan aku yang dekat diujung halaman rumah menantimu pulang. Menanti dekap, mencari yang redup. Kau telah meninggalkan sayap-sayap ayat. Singkat suaramu, ingat tawamu :
Aku merindukan lagu senyummu, ayah.

Ayah...
Sejatinya kau lelaki yang kuat karena hati. Penuhi arti, tumpahi mimpi. Menepi diammu masih tersimpan dalam alam. Malam habiskan kita saling berdiri menjatuhkan air mata. Kata-kata perindu, sendu tak pernah layu. Merayumu dibalik pundak, kau tunduk lalu pamit tanpa kalimat.

Ayah...
Aku ingin kau kembali. Melihatku tumbuh layaknya sejarah yang dicongkel kegelapan. Mendengar riak teriakku yang pecah menancap. Sekap sikapku kadang membuatmu sehalus tabah, seluas merabah. Bongkahan sinar dari matamu adalah satu-satunya kepastian bahwa ada seribu kesejukan tertanam subur disana.

Ayah...
Kau adalah warna dari kanvas taman Eden. Karya Tuhan paling puitis. Pohon kehidupan yang berdiri napaskan kami. Kau lelaki yang tak bisa diterjemahkan oleh apapun.

Ayah...
Aku merindukanmu dari dasar waktu ibu. Mencubit tanganmu sebatas doa.

Kediri, 21 September 2020
Buah karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun