Puisi ini hanya sebagai tanda selamat, atas perjumpaan antara 2 sahabat yang telah berpisah enam tahun lamanya.
Teruntuk Nona Manis
Anggraeni
Menyimpan fotomu di dunia Maya sama halnya aku menolak jasadmu tak tentram di akhirat nanti. Biarkan wajahmu abadi dibatas putih mataku.
Anggraeni.
Tak mesra di dunia Maya bukan berarti kita saling sepakat membunuh untuk pergi. Kita hanya tak ingin jadi relung-relung syarat tak bertobat.
Anggraeni
Mencintaimu tak cukup menyekap, menyikap kesucian. Kepedulian dan cara kita mengenal dari yang bengal hingga terjal. Kau adalah kerumunan bait-bait tanpa banyak menunggu ilmu hafalan serta tumpukan sesal.
Anggraeni
Mencintaimu adalah tumpah darah perlawanan. Kita hanyut dan terbayang akan rasa, perkara dalam makna, tak termakam doa dalam dosa.
Anggraeni
Mencintaimu adalah bumi ibu yang di hisap nadinya. Lambung padi, kita terapung di antara pesan perjuangan para syuhada, sadar shadu ketika di balok malu, kau hening pada cipta sajak kepala batu.
Anggraeni
Mencintaimu adalah seribu negeri kepulauan. Kepulaan peluk yang tak lekang belajar menanti usia lapuk. Kita sosok yang tercipta secara kemanusiaan.
Anggraeni
Mencintaimu adalah puisi yang ku nikahi dengan cincin kepercayaan :
" Kita sebatas rusuk yang siap bernyanyi untuk negeri yang di rusak. "
Anggraeni
Biarkan bibirmu menjadi tungku terakhir aku bernapas. Kita menyala pada kayu-kayu yang menjelma sayap-sayap peramu. Ngilu kehidupan terbaca dari akar waktu.
Kediri, 19 September 2020