Tak nikmat malam-malam seperti ini
Jika mata masih terbuka dan kopi masih melambai untuk disruput
Maka terciptalah puisi kopi dari seorang buruh ini
Kopi dan Catatan Seorang Buruh
Kopi pahit masih tersuguh di depan mata, belum habis terseduh diantara bulir-bulir keringat, membasahi pakaian kebesaran
Dentuman bel yang nyaring, kembali menyeka telinga, tumpukan-tumpukan pasir; segera harus kuayak, batu-batu kembali harus kunaikkan satu-persatu sebab mobil-mobil
Truk telah berjejer rapi menunggu giliran
Kain-kain harus kembali dijahit secepatnya sebab pemiliknya sudah tak sabar memakainya ke pesta. Selepas itu aku harus kembali pulang.
Sebab sekantong ikan memanggil, berharap segera dipulangkan bertemu dengan aneka bumbu yang tak sabar bercumbu di belanga, lalu menyantapnya dengan seribu senyum di meja makan.
Sampai hari ini cerita dari para raja-raja memudarkan suara-suara sumbang di mimbar-mimbar cinta
Suara sendok dan piring di meja makan memainkan irama kelaparan, tangisan meminta susu pecah di dalam rumah dari balita dalam ayunan ibunya
Ruah gemuruh cinta bersama desahan air mata yang enggan tumpah di kolong meja, memaki jendela raja siang agar segera bertandang
Sepatah kata yang terlunta di balik tirani kepentingan
Sepucuk surat kusodorkan selepas berbincang bersama dewi malam
"Kami buruh, salahkah bila merindu kata sejahtera, Indonesia yang ramah,
Adil dan makmur bagi kehidupan di masa datang"
Sudikah kau baca dengan hati lapang, meminggirkan sekotak upeti, cemburu yang kian ramai agar tiada mata yang terhalang melihat burung-burung bersahutan lebih mesra di halaman rumah.
 Kediri, 15 September 2020
Buah karya: Abdul Azis (Le Putra Marsyah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H