Ayah, sempat ku mengira kau cengeng,
Begitu tersedunya kau menangis
ketika ayahmu meninggalkan kita.
Bocah ileran ini memang belum tau soal kepergian orang yang kita cintai
Tapi aku semakin mengerti ketika kau meninggalkanku
Aku tambah cengeng ayah
Karena dua ribu tiga ratus tujuh hari kau meninggalkanku
Aku masih saja menangisi tentangmu
Ayah, aku juga pernah mengira kau ini keji dan bangsat.
Begitu membaranya kau memarahiku
Hingga kau menonyorku; darah dari hidungku mengalir deras
Ya, hanya karena aku meminta dua ribu rupiah
untuk membeli sebungkus arumanis;
itupun masih kau tambahi dengan gagang sapu yang patah kena pahaku
Sejak saat itu aku membencimu, Ayah!
Aku tak menganggapmu ayahku sendiri
Begitupun engkau yang tak pernah menanyai tentang aku
"Bagaimana sekolahmu nak?"
"Bagaimana dengan Teatermu? Kau jadi tokoh apa hari ini?"
Kau membiarkan aku melakukan apa saja semauku
Semisal membawa wanita dan menenggak alkohol di kamarku.
Padahal ketika itu aku hanya ingin kau tegur
Tapi yah,
Aku anakmu, ayah
Anak yang lahir dari darah dagingmu
Aku rindu kau marahi.
Aku ingin kembali mendengarkan lantunan ninabobomu kembali
"Mbesok yen wis gedhe
Nalikane sesandingan karo kekasihmu
Kekaron sih ngadhep ombaking urip"
Aku, ini anakmu yah.
Rindu