SETIAP HARI, pukul empat sore, saya sudah siap untuk pulang dari kantor di kawasan Sunter, menuju rumah kos di Salemba. Dengan motor butut yang tiga tahun baru bisa habis masa kreditnya, saya selalu memilih jalan yang sama sebagai jalur pulang.Â
Karena itu, tak terhitung sudah berapa kali saya berhenti di lampu merah dekat Jalan Danau Sunter Barat. Â Dan tak terhitung sudah saya berapa kali saya menatap Sekolah Jubilee yang berada tepat di seberangnya.
Saya bekerja lima hari dalam seminggu. Itu berarti dalam empat tahun terakhir, saya sudah melewati jalur ini lebih dari seribu kali.
Di jam, jalur, dan perhentian yang sama, pemandangan Sekolah Jubilee mulai kalah, tenggelam, tergantikan dengan proses pembangunan beberapa gedung yang mirip apartemen. Persis dibelakangnya.
Tiang demi tiang terpasang, semen demi semen tertempel. Perlahan sampai akhirnya tinggi sekali. Dari rangka hingga punya jendela. Dari pucat hingga akhirnya memiliki cat. Semua saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Sepulang kantor, setiap sore pukul empat.
Mungkin ada lima gedung disana. Saya tidak yakin persis. Tapi gedung itu berwarna warni: merah, kuning, biru, dan abu-abu bersanding cantik dengan latar putih sebagai kanvasnya. Sedangkan disetiap puncak gedung, terpatri sebuah gambar: Baling-baling biru dengan latar belakang kuning kuning kunyit khas Kementerian Pekerjaan Umum.
Gedung-gedung baru itu adalah Wisma Atlit di Jakarta.
SORE KEMARIN, sama seperti sore-sore lainnya di hari kerja. Saya lewati lagi jalan itu. Berhenti lagi di lampu merah yang sama. Tipikal hari-hari kaum pekerja yang itu-itu saja.
Namun kali ini bukan Wisma atlit yang mencuri perhatian saya. Melainkan penampakkan beberapa orang yang sepertinya bukan warga asli sekitar sini.
Ternyata Wisma Atlit sudah mulai terisi oleh orang-orang yang menginap.
Atlit? Ah tidak mungkin, pikir saya. Badannya besar, perutnya juga. Tiga orang seluruhnya. Tak seperti saya yang langsung hitam kalau kena panas, kulit mereka justru memerah. Dilehernya ada kalung identitas, mungkin bertuliskan ASIAN Games 2018. Entahlah, terlalu jauh untuk saya baca.
Yang saya tahu, ASIAN Games sudah lama di promosikan. Banyak pihak, termasuk kantor saya sendiri, sudah membuat spanduk, memproklamirkan bahwa mereka "Siap mensukseskan ASIAN Games 2018."
Lama sudah saya merenung, apa yang sebenarnya dapat saya lakukan secara pribadi untuk mensukseskan ASIAN Games? Namun tak pernah mendapatkan jawaban pasti. Setidaknya sampai kemarin.
Kemudian, setelah lampu hijau, atau lebih tepatnya setelah kendaraan di belakang saya mulai beringas. Saya, tanpa berhenti, mendekati rombongan orang asing itu. Kemudian tersenyum, dan melambaikan tangan. Lalu pergi meninggalkan mereka yang masih sibuk membalas senyum dan lambaian tangan saya.
HARI INI, Jakarta, 14 Agustus 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H