Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kami Memilih

1 Maret 2024   17:26 Diperbarui: 1 Maret 2024   17:51 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketika cahya mentari masih dibalut embun pagi
Dan seisi kampung masih bercanda dalam mimpi
Aku menyusuri jalan setapak
berjarak jauh berpeluh untuk sampai terang hari
Di bilik sana di lereng bukit aku akan memilih dengan hati, tak sekadar jemari
Panitia, saksi, pencatat telah lama siaga menunggu
Datang satu-satu dari ragam jurusan kumpul jadi ramai
Menunggu, dan menunggu panggilan berjejer
*****
Aku tak terpilih menanti siraman fajar berembun

Aku tak berharap, tak menanti fajar akan berbunga...

Di tangga rumah berkolong kelompok ibu membincang ramai sosok idola
' Pilih siapa bu... '
' Ada di sini... ' telunjuk menuju dada
' Terima berapaan Bu... '
' Ssssttt... rahasia hati'
Tawa ceria mengusik pagi belum benderang
Warga berduyun beragam pandang dan rahasia hati
Panitia memanggil nama berganti
' Leonardo Simanjuntak '
Terkesiap, melangkah pasti masuk bilik keramat
Ya sudah, pilihan bukan merujuk mimpi
Satu suara untuk pemimpin negeri, satu pilihan untuk Senayan, satu tusukan  untuk perwakilan, satu coblosan buat provinsi, dan satu lobang buat kabupaten...
Jika sudah usai, ada yang buru-

Menghitung suara hingga dini hari ( foto: leonardo tss) 
Menghitung suara hingga dini hari ( foto: leonardo tss) 
buru pergi ke sawah, ada  yang setia menanti hingga saatnya berhitung'

 Aku memilih dengan hati, bukan karena menunggu pintu diketuk jelang fajar' cetus seseorang seperti pada diri sendiri

Siang hari suasana berganti lengang

Saat matahari miring ke barat  kumpul ramai lagi ingin tahu
' Bah, meleset... Empat puluh berjanji hanya dua puluh tercatat, cilaka tiga belas' bergumam pria berjenggot bermuram durja

Keluhan seirama terdengar di sudut-sudut kampung
Demokrasi memang seperti sudah begitu adatnya
Ada yang pegang janji, ada yang matre, ada yang dituding khianat, ada yang teguh tanpa embel...
Akan begitukah seterusnya, ketika sebaran komersial pertanda suara kini mahal harganya...

Tetapi, syukur memilih di kampung kami aman damai penuh canda

Setia menonton hingga dini hari

( Tapanuli Raya pasca Pemilu ) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun