Di jalan dekat gedung berpagar pagi itu. Di seberang pepohonan tak bernama yang daunnya berkurang setiap petang. Waktu terhenti tiba-tiba, dan bunga melati tiarap meratap
Sekelompok orang dikejut letus celaka memicu serapah
"Gempa bumi ayah?"
Kakek tua geleng muka. "Suara guntur di langit. Yuk pulang cepat."
Langkah kaki berpacu dengan waktu menghentak tangan cucu bermuka pasi
Orang per orang berjumlah ramai berlarian kian kemari
Tak tau mau ke mana mau apa
Sekian keping batu melayang bagai percik mercon merah jingga
Dan sirene mengaum dari penjuru kota
Dan darah menempel di aspal dan kemeja putih pemulung
Dan rona abu rokok membubung merangkul awan
Dan aroma tengik merasuk lubang hidung tak bermasker
Riuh lama seantero pasar hitam sepeninggal kakek dan cucu yang raib di balik tembok putih penuh grafiti
Celaka! gerutu gadis di atas sepeda di kejauhan
Mara tak pernah datang dengan peringatan, keluh si tua yang mengintip dari terali jendela
Asap makin menipis
Dan waktu menggeliat kembali
Tragedi telah menepiÂ
Tak pernah berjanji, itulah yang terakhirÂ
at the end, sayup lagu Oscar Harris dari sebuah ruko
Rasa cinta telah menjauh dan terbenam di ufuk tak bernama
290321
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H