Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dulu, Ketika Aku dalam Gendongan Ibu

16 September 2018   14:54 Diperbarui: 16 September 2018   17:17 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dulu ketika aku dalam gendongan ibu yang tiap hari ketakutan. (Dok.pri)

Ibuku sosok wanita pendongeng maha bijak. Juga tentang kisah perang, bunyi peluru mortir dan suara bazoka tengah malam. Juga tentang serdadu berkerumun di desa, bunyi derap sepatu menggugah di malam senyap, atau tentang jerit tangis dan lolongan anjing dari tepi ladang. Dan saat pagi anak-anak sibuk mengumpul selongsong peluru bertabur di halaman kampung...

*

Ibu piawai mengunggah kenangan. Lebih setengah abad lalu ketika serdadu asing membentak beringas keliling kampung. Ibu sembunyi di balik timbunan kayu bakar. Lalu kakek yang mati di belakang rumah terkena serpih peluru mortir yang diluncurkan dari pegunungan. Lain era beda momentum. Cerita beruntai malam ke malam,meninabobo kami bersaudara menjemput nyenyak

*

Dulu,para pejuang negeri acap berhimpun berjaga kampung kita 'nak ! Ibu tak gentar menonton para pejuang baris berbaris sambil menidurkanmu di punggung ibu. Lalu ibu mencubit kakimu ketika kamu rewel minta terus disusui. Huuiss...lihat itu polisi nanti kamu dibawa ke hutan penuh monyet !

*

Lebih setengah abad kisah patriotik senantiasa menggugah hati, menatap gambar bisu. Gambar mengkilasbalik sukaduka tak terbeli dengan emas berlian sekalipun. Ah,ibu andai ibu masih berkisah lagi dari bawah tanah tempatmu tamasya abadi.

*

Perlahan kupandang lagi foto ibu di tengah ladang, memetik sayuran pada saat sinar fajar memandikan bumi. Perlahan kubisikkan lagi pada sunyi desa sunyi gunungan,pada belantara pohon di pegunungan yang membingkai lembah ini.

"Ku ingin ibu berkisah lagi tentang perang dulu,tentang riuh peluru menakuti seluruh yang bernyawa di kampung kita, tentang derap sepatu tentara, ratap tangis keluarga yang ayahnya mati tak berpesan, tentang lolongan anjing di tengah malam berhujan dan angin ribut menggasak rimbun bambu di batas desa.

Dan,juga tentang cuil kisah saat aku di gendongan ibu, dan kakiku yang tercubit karena tangisku membuat suasana perang terusik bising berserabut geram.

IBU...aku ingin saat ini berada lagi dalam gambar itu, agar aku kembali lagi dalam gendongan ibu.

- Meski pun itu dalam mimpi

(Tarutung berhujan ,Minggu 16 September 18 - mengawali Hari Pahlawan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun