Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemadaman tak Mempan, Kepungan Asap Makin Parah

22 Oktober 2015   11:51 Diperbarui: 22 Oktober 2015   11:51 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibaratnya selipan Breaking News di layar televisi, inilah kabar terkini tentang kepungan asap yang melanda Sumatera, minus liputan terbaru tentang si tua dan si asi di kawasan Kalimantan:

Omelan berjuta rakyat di daratan maupun kepulauan yang masuk zona Sumatera, kayaknya barang rongsokan terbuang ke jurang pembuangan sampah. 

Di mana-mana orang bersumpah serapah akibat kepungan asap, agaknya tak perlu dikisahkan lagi. Sudah basi. Pasalnya, jika pun harus berteriak, pada siapa ditujukan. Pejabat pemerintah di Pulau yang dulu disebut Andalas ini juga ikut menikmati bagaimana rasanya menghirup asap.

Atau rakyat yang sudah sesak nafas mau eksodus mencari perlindungan? Tindakan sia-sia. Toh asap setali tiga uang dengan angin. Mau ke mana mau sembunyi. Hanya liang kubur mungkin yang paling aman. Siapa pula yang mau sembunyi di sana. 

Kepumgan asap yang sudah memasuki priode bulan kedua, tampaknya lebih baik dicueki ketimbang dimaki-maki. Seraya ngerumpi menganalisis dampak yang terjadi akibat menghirup asap, rakyat sudah malas atau pesimis saat aparat kesehatan membagi-bagi masker dengan dana yang hanya mereka yang tahu sumbernya. Entah sudah berapa banyak masker dibagi cuma-cuma tapi dianggap percuma. Entah sudah berapa banyak pula masker dibeli sendiri di apotik, dipakai sekali lalu dibuang di sembarang tempat.

"Sabar, kita harus sabar, ini cobaan dari Yang Maha Kuasa," kata seorang warga di Balige,Kabupaten Tobasa, Sumut. Ucapan ini sebagai upaya menghibur gerutu warga lain yang mengeluhkan kondisi kesehatan cucunya yang masih di bawah balita.

Warga yang dihibur menyangkal kalau kepungan asap itu cobaan dari Tuhan." Tak saya terima itu, ini adalah ulah manusia dengan bermacam alasan sebagai kambing hitam. ini salah manusia yang tabiatnya memang suka main api."

Salah manusia, atau human error. Tudingan itu juga sudah lama tertangkap antena telinga. Ketika itu benar dan pelaku kesalahan sudah ditangkap, apakah kebakaran hutan sdah bisa dihentikan. Malah makin parah. Itu sih kata seorang warga, sudah tabiat melekat pada manusia. Lihat saja koruptor, makin banyak yang dihukum toh terus terjadi.

Habis, bagaimana. Pertanyaan saya itu dengan enteng dijawab seseorang," Mari kita jangan pernah kehilangan kepercayaan pada pemerintah, apalagi bilang Jokowi seakan tak perduli soal asap. Mari kita rajin membaca koran dan menonton televisi, api terus disirami air kok sampai negara lain seperti Malaysia dan Rusia ikutan heppot (repot) bawa pesawat memadamkan api yang entah tahun berapa akan benar-benar padam benaran."

Ketika Malaysia, Rusia, dan kita (Indonesia) sibuk menyiramkan berliter-liter air di TKP, apa kepungan asap sudah berkurang signifikan? 

Ironis!

Situasi dua hari terakhir dengan Kawasan Tapanuli sebagai sampel terdekat dengan penulis, kepungan asap tampak makin tebal. Saking tebalnya hingga sinar surya pun tak mampu menembus, sehingga para petani yang mau menjemur padi harus berpikir tujuh kali apa padi bisa kering dengan pengasapan?

Kota Sibolga dan Tarutung yang ikutan dapat jatah menghirup asap kiriman, Hari Kamis ( 21/10) harus siap dengan pertambahan jatah asap kiriman. Kabut asap makin tebal. Jarak pandang makin mendekat. hidung makin sumpek. 

Mungkin ada yang dapat ilham, kalau saya jadi penguasa yang berkuasa, status Kawasan Sumatera (dan daerah lain penerima jatah) akan saya tetapkan sudah Siaga. Mau Siaga 1,2,3 atau Siaga Penuh tak jadi soal.

Tapi, saya interupsi Bung. Kalau Gunung Sinabung meletus orang bolehlah ramai-ramai mengungsi ke tempat aman. Tapi kalau Siaga karena asap, mau pindah ke mana, mau sembunyi di mana. Memangnya mau gali lobang persembunyian di dalam tanah, seperti bunkernya Adolf Hitler ketika kepungan sekutu tak terbendung lagi melilit kota Berlin? 

Orang itu senyum mesem mendengar interupsi saya.

Lalu, katanya santai,"Maksud saya pindah dulu ke daerah bebas asap, mau Jakarta kek, Bogor kek, Bandung kek."

Saya geleng kepala mendengarnya." Ntar penuh lagi dong Jakarta bisa pusing Pak Ahok. Kalau musim banjir aja ngurusin warga mau ngungsi sudah ribet, boro-boro mau ngurusi orang Sumatera yang kabur diburu asap."

Ha-ha-ha, ketawa sajalah kita biar lebih banyak asap masuk perut, hitung-hitung mengurangi asap yang gentayangan di udara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun