Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Partai Mana Pun Pemenang, Prioritaskan Kebebasan Beragama

6 April 2014   18:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah kebebasan (kerukunan) beragama di Indonesia. Sebenarnya,ada. Berdasarkan Undang-Undang, serta berbagai peraturan/ketentuan, dan retorika-retorika petinggi negara dan petinggi agama.
"Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya" (UUD 1945, 28 E/2).

Saya setuju dengan Zuly Qodir, sosiolog Universitas Muhamadiyah Yogyakarta dan peneliti senior Maarif Institute. Dalam tulisannya di Kompas cetak Qodir menulis," kutipan di atas merupakan dasar kebebasan yang hakiki pada setiap warga negara atas keyakinan yang dipilih, berdasarkan pikiran dan perilaku yang dilakukan sesuai hati nuraninya. Hal itu menunjukkan tentang hak asasi manusia warga negara Indonesia, yang telah dinyatakan dalam perundang-undangan tertinggi di Indonesia. (Harian Kompas 3 Maret 2014)
Pada era kepemimpinan Presiden Gus Dur, ada beberapa kebijakan yang reformis dilakukan terkait kebebasan beragama. Dampaknya cukup signifikan dalam mencuatkan kesadaran pentingnya kebebasan beragama itu dihormati siapa saja. Ada berbagai aliran kepercayaan yang sebelumnya "diharamkan" keabsahannya, akhirnya mendapat pengakuan Pemerintah. Tercatat misalnya sekte Saksi Jehuwa yang dulunya sembunyi-sembunyi dan selalu teraniaya oleh tidak adanya pengakuan, kini telah bebas menjalankan aktivitasnya. Atau juga kaum Tionghoa yang bernafas lega setelah perayaan Imlek dinyatakan resmi oleh Pemerintah, dan sudah tercantum di kalender sebagai hari libur umum.

Laporan tahunan The Wahid Institute (2014), sebagaimana dikutip Zuli Qodir, terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, menyatakan selama Januari-Desember 2013,jumlah pelanggaran atau intoleransi keyakinan beragama tercatat 245 peristiwa.Terdiri atas 106 peristiwa (43 persen) yang melibatkan aktor negara dan 139 peristiwa (57 persen) oleh aktor non-negara. Sementara total jumlah tindakan kekerasan dan intoleransi mencapai 280 kasus, di mana 121 tindakan (43 persen) dilakukan aktor negara dan 159 tindakan (57 persen) oleh aktor non- negara.

Berdasarkan fakta tersebut, Zuli Qodir memunculkan pertanyaan fundamental yang (menurutnya) harus dijawab oleh setiap warga negara yang mengaku memiliki keyakinan keagamaan. Hal apakah yang menyebabkan perilaku kekerasan dan tindakan melanggar UUD terkait kebebasan beragama terus berlangsung? Bukankah kebebasab menganut keyakinan keagamaan merupakan hak asasi yang tidak dapat tergantikan di Indonesia?

Pertanyaan itu tak dijawab dengan argumen detil oleh Qodir, kecuali uraian bernada tanya dan ajakan perenungan pada beberapa paragraf. Di akhir tulisannya, Zuli Qodir memberi catatan simpul, " seharusnya tidak lagi terjadi kekerasan atas nama "pelurusan iman agama" sebab konstitusi tertinggi kita telah jelas memberikan pedoman kepada warga negara untuk menganut keyakinan dan beribadah sesuai dengan keyakinannya itu.

Sebenarnya, masalahnya tidak bisa dipusatkan secara global mempersalahkan satu atau dua pihak, kalau dikatakan seolah di Indonesia telah terjadi pelanggaran-pelanggaran terkait hak asasi menganut suatu keyakinan/kepercayaan.

Secara sederhana perlu diingatkan, terjadinya peristiwa pelanggaran dilakukan oknum atau kelompok dalam skala kecil (terbatas), tapi kemudian dalam persepsi umum seola-olah itu atas nama kelompok berskala luas (global). Itu yang senantiasa harus dipahami dan disosialisasikan ke tengah publik dengan melepaskan pretensi-pretensi yang berpotensi melahirkan pikiran aprioritik.

Kembali pada jaminan UUD 1945 tadi. Jaminan itu ada dan mutlak. Karenanya, Presiden Gus Dur tanpa tedeng aling-aling berani dan tegas mencetuskan ide-ide pendobrakan kebekuan yang sekian lama dipermanenkan menyangkut banyak hal seputar hak asasi tadi. Gus Dur ingin membuat sentakan yang diharapkan pada periode-periode berikut selepas dia, akan terus dikembangkan dan akan lebih baik.
Jika pasal krusial dalam UUD itu sudah nyata-nyata jadi jaminan, kenapa masih muncul analisis-analisis mempertanyakan soal kebebasan beragama seperti halnya yang ditulis seorang Zuli Qodir di koran berpengaruh seperti Harian Kompas?

Jawabnya, karena kawalan terhadap jaminan tertulis itu tidak (belum) dibarengi kesadaran total atau belum dimaknai sementara pihak sebagai suatu prinsip yang harus diimplementasikan secara konsisten dalam konteks kebersamaan berbangsa dan bernegara berbingkai Pancasila dan UUD 1945.

Ke depan, merujuk pada judul artikel ini, tak hanya tokoh pemimpin dalam skala personal, bahkan juga partai dalam format organisatoris, hendaknya memberi kontribusi aktif menggumuli dan menyahuti masalah tersebut sebagai suatu misi penting untuk menjaga keutuhan Negara ini. Partai tak harus hanya mengedepankan slogan-slogan klise seperti janji perubahan, jani peningkatan ekonomi dan kesejahteraan, janji perbaikan infrastruktur, janji peningkatan keamanan. Di antara visi misi itu partai juga harus memperbesar porsi komitmennya menjaga, mengawal, dan memperjuangkan agar kebebasan beragama itu sesusngguhnya ada di negeri pelangi Indonesia.

Hanya dengan adanya kebebasan beragama maka kerukunan beragama itu hadir dalam artian realistik. Dan kerukunan antarumat beragama menjadi parameter mewujudkan kerukunan hidup sesama warga. Tak perlu ada yang dipersalahkan tentang hal ini. Tidak juga oleh Zuli Qodir dalam artikelnya. Kalau seorang anak terpeleset di jalan karena licin, jangan salahkan orang tua atau keluarganya lalai menjaga dan kebobolan membiarkan anaknya gentayangan di jalan. Solusi praktisnya, diingatkan kalau jalan itu licin jangan lagi lewat di sana. Atau kalau di jalanan itu ada rampok atau copet yang mengganggu orang lewat, koq memang jalan itu bisa disalahkan sehingga harus dihindari? Cegah tangkal saja itu rampok. Toh jumlah perampok berbanding jumlah warga negara yang anti rampok, terlalu sedikit.Kuncinya: makin banyak orang bersepakat anti kejahatan jalanan, makin kecillah kemungkinan jalan itu terus menerus didatangi rampok. Dengan begitu tiba saatnya orang bebas berjalan, tertawa, sambil bergandeng tangan, meski tak tertutup kemungkinan msih ada satu dua lagi rampok yang mengintai dengan wajah anti keakraban, anti kebersamaan, anti keamanan, atau anti kenyamanan. Begitu, seperti biasa kata kuncinya tokoh acara Golden Ways d tv.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun