Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menatap Dunia dengan Novel Sheldon Produk Gramedia

20 April 2014   17:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_333272" align="alignnone" width="448" caption="Sebagian novel best seller Sidney Sheldon (Foto:Penulis)"][/caption]

Jujur, saya termasuk penyuka buku bacaan bermutu, terutama novel berkelas. Bukannya mengecilkan karya bangsa sendiri, novel-novel berkelas dunia seperti karya Ernest Hemingway, Leo Tolstoy, sampai cerita seru racikan jago cerita kelas dunia Sidney Sheldon.
Lalu, siapa novelis yang kusukai dari Indonesia? Ketika ada yang pernah menempatkan Motinggo Boesye sebagai novelis picisan dengan tema-tema asmara yang hot, maka bagi saya Boesye adalah novelis Indonesia terbaik dengan gaya bertutur paling lincah yang dimiliki Indonesia. Tak berlebihan jika seorang kritikus sastra sekaliber HB Jassin mengakui kelebihan Motinggo Boesye dalam penulisan novel yang memukau dengan gaya bahasanya yang mengalir, membuat pembacanya lupa makan dan telat tidur.
Lalu, kenapa saya juga suka novelnya Sheldon? Terus terang, awalnya saya belum tahu betul apa yang memikat dari novel karyanya. Pertama kali sahabat saya Rustam Effendi Nainggolan (mantan Bupati Tapanuli Utara dan mantan Sekda Provinsi Sumatera Utara) meminjamkan saya sebuah novel berjudul " Windmills of The Gods" (Kincir Angin Para Dewa). Pengarangnya Sidney Sheldon. Setelah saya baca, langsung saya jatuh kagum.  Gaya penerjemahannya betul-betul adaptif, ditangani translater profesional. Sejak itu saya makin getol mencari novel Sheldon untuk koleksi pribadi. Saya juga harus mengakui PT Gramedia Pustaka Utama selaku penerbit novel Sheldon edisi Indonesia, menjadi jaminan bagi saya untuk setiap belanja buku di plaza, mal, atau toko mana saja. Setiap melihat sebuah buku, entah kenapa saya selalu menyimak lembaran awal, apakah penerbitnya Gramedia atau bukan. Saya terlalu bergantung pada buku terbitan Gramedia yang saya yakini didasari selektifitas yang akurat.(Bukan promosi lho).
Lantas, apa yang membuat fans Sheldon terkagum-kagum dan setia menunggu novel terbarunya diterbitkan Gramedia. Selain aspek gaya bertutur, pola penceritaan yang memang khas, keakuratan data, kepiawaiannya mengecoh pembaca dengan trik kejutan-kejutan yang mencengangkan, cara Sheldon mengurai flashback, merajut sisipan romantisme, maka Sheldon juga menghanyutkan pembacanya menatap dan menjelajah berbagai kota dan negara dengan pemaparan detil  sudut-sudut lokasi yang mendukung kompleksitas alur cerita.
Saat membaca Sheldon, saya terkadang melambung terbawa ilusi traveling, merasakan saya sedang berada dalam posisi penonton tak jauh dari tokoh-tokohnya. Atau saya merasa berada langsung di kota-kota yang disetting begitu rapi oleh penulis berkelas seperti Sheldon. Terkadang Sheldon menggiring tokohnya keluar dari lokasi utama, ke Beirut, Istambul, Roma, New York, Paris, Buenos Aires, Madrid, Sicilia, dan entah ke mana-mana lagi. Penuturan lokasi-lokasi juga tak sekadar penyebutan nama kota, tapi detil nama jalan, kompleks, gedung-gedung terkemuka, nama hotel, restoran, kuliner spesifik, ciri khas warganya, hingga kebiasaan atau tradisi seni budaya, sungguh sangat hidup menggugah imajinasi.
Gaya bercerita Sheldon memang memukau, walau terkadang pembaca harus mengerutkan kening saat plot secara tak terduga menikung pada tanjakan-tanjakan tak terduga. Itu misalnya pada novel Blood Line (garis darah), The Sands of Time,  Nothing Last Forever, Rage of Angels, atau The Best Laid Plans. Hampir keseluruhan novel yang dialirkan dari otak Sheldon menakjubkan. Tak jarang saya terkesima karena apa yang semula saya prediksi, meleset jauh. Sheldon seakan mengajak pembaca bermain dalam titik-titik forecast di mana pembaca selalu akan kalah. Aroma thriller dan suspense memang sangat kental pada setiap tematik yang diluncurkan Sheldon lewat imaji-imaji yang colourfull. Namun bukan berarti Sheldon  menutupi elemen sastra dan filosofi kehidupan.
Mengoleksi, membaca, dan memahami novel Sheldon paling tidak menggugah siapa saja untuk mengkaji ulang sebuah kasus atau peristiwa. Sheldon juga bertutur tentang indahnya kekalahan penjahat ketika kejahatan bertekuk lutut pada power kebenaran sejati.
Sayang sekali, novel terbaru Sheldon tak akan pernah lagi mengunjungi publik setelah usia lanjut merenggut nyawanya dengan tenang pada usia 89. Namun koleksi novelnya (bagi yang mengoleksi) akan sangat berharga. Karena Sidney Sheldon telah meninggalkan jejak sejarah trik dan gaya penulisan novel yang hidup dengan mosaik-mosaik yang bernilai plus bagi generasi di belakangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun