Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Seputar Motto "Singkat Tapi Padat", Sebuah Pemikiran

26 April 2014   04:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan "Singkat Tapi Padat" (STP) sudah lama dikenal secara umum. Di beberapa kantor instansi pemerintah, saya sering membaca tulisan itu: Singkat Tapi Padat. Konotasinya tak terlalu rumit dibahas. Agar saat seseorang berurusan entah dengan kepala kantor atau dengan staf, pembicaraan tak perlu terlalu bertele-tele. Ya to the point saja, yang penting tujuan sudah jelas, membuahkan understanding.
Sebagai orang paham etika terutama bagi manusia berpendidikan, tulisan STP yang ditempelkan di dinding atau pintu kantor, seyogianya diapresiasi dalam konteks budaya beretika, selain memahami arti efisiensi waktu. Memang tak jarang, ada orang yang berurusan ke satu kantor, sudah membaca tulisan STP di pintu sang Bos, eeeh malah waktu bertamunya molor jadi satu sampai dua jam. Kalau sudah begitu ceritanya, berarti dua-duanya salah. Mengabaikan prinsip konsistensi dalam penerapan STP. Mungkin sang tamu adalah tamu istimewa sang Bos, atau kerabat barangkali, mungkin teman sekolah yang lama tak ketemu. Tapi sebenarnya apa pun alasannya, tetap saja hal itu cermin ketidakkonsistenan terhadap moto  STP tadi. Ibaratnya jargon melompong.
Kemungkinan kedua, sang bos mungkin memasang moto itu dibuat berdasarkan kriteria. Kalau tamu dianggap tak begitu penting, ya moto itu diberlakukan. Kalau tamunya orang penting, diabaikan saja.
Kemungkinan lain ketika STP dibuat , barangkali sekadar formalitas saja, supaya terkesan bernuansa modern mengikuti lifestyle yang lagi tren.
Saya pernah bertamu pada kepala kantor salah satu instansi di Medan. Saya harus menunggu agak lama karena menurut ajudan lagi ada tamu. Saya duduk di kursi tamu, seraya mata menatap tulisan STP di pintu sang bos. Oke, kebetulan saya juga orang yang menghargai peraturan, lagi pula saya paling tak suka bertele-tele buang waktu. Sebelum saya masuk, ajudan itu berkata," Bapak baca tulisan itu ya, jangan lama-lama, singkat tapi padat aja." Saya spontan mengangguk. Baru beberapa menit saya ngomong tentang urusan saya dengan sang bos, saya sudah menangkap sinyal saat sang bos mulai melirik jam tangannya. "Oke,oke saya akan tindaklanjuti secepatnya. Apa masih ada hal lainnya?" sambil bos itu melirik jam tangannya ketiga kali. Setelah keluar dari ruangan itu, saya menyimpulkan moto STP yang tercantum di pintu tadi adalah kategori STP "melihat orangnya." Kenapa? Karena tamu sebelum saya tadi berada di dalam cukup lama, mungkin lebih satu jam saya menunggu sebelum saya bisa masuk.
Pada kesempatan lain saya bertamu ke salah satu kantor di Siantar, moto yang sama saya lihat lebih jelas terpampang di dinding. Singkat Tapi Padat. Tapi kertasnya sudah kusam dan koyak-koyak. Setelah saya masuk, ternyata sang bos yang satu ini tukang cerita. Dia ngalor-ngidul tentang banyak hal tak terkait dengan urusan saya. Pokoknya out of focus. Saya merasa kurang enak aja. Karena saya tahu masih ada tamu menyusul sedang menunggu. Tapi ketika saya berkata " oke pak saya permisi dulu, kan supaya singkat dan padat." Dia terbahak mendengarnya. "Ouu, tulisan di dinding itu maksudnya. Ah gak apa-apa, itu tak usah dibuat serius." katanya masih tertawa. " Kita santai aja dulu cerita-cerita tentang yang tadi, kenapa buru-buru."
Di kemudian hari, saya merasakan adanya titik sambung antara STP dengan ungkapan lain berbunyi " Kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit,kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah." Wah, Indonesia, gumam saya tersenyum. Jika ditautkan ke STP, bisa kira-kira berubah menjadi " Kalau bisa dipersingkat kenapa dibuat. berliku-liku, kalau bisa dibuat berliku-liku (untuk satu kepentingan) kenapa harus dipersingkat."
Makin saya renungkan, moto STP juga bisa - bahkan mungkin ada faedah- dalam hal tulis menulis berita atau artikel. Di zaman yang bergerak begitu cepat sekarang ini, setidaknya makin banyak orang terutama kalangan eksekutif cenderung pada yang ringkas-ringkas tapi makna tertangkap jelas.
Di negara maju seperti Amerika atau negara Jepang, kebanyakan orang terutama para eksekutif atau pebisnis, konon jarang membaca tulisan koran yang berpanjang-panjang, karena selain menyita pikiran juga faktor waktu. Bukankah di negara maju prinsip Time is Money itu memang sudah benar-bnar menjadi bingkainya gaya hidup?
Makanya menurut cerita teman saya yang sudah lama tinggal di Berlin Jerman, orang Jerman sering hanya membaca judul suatu berita,atau kalau masih lebih ingin tahu diteruskan membaca lead berita. Sudah itu koran dilipat dimasukkan ke tas, nanti di rumah bisa dibaca lagi (kalau sempat).
Saya pikir di Kompasiana moto STP itu bisa jadi perlu juga diterapkan. Banjir informasi dan ide yang meluncur tiap detik dari ratusan ribu kompasianer di seantero Nuasantara bahkan dunia, setidaknya memungkinkan STP patut dipertimbangkan. Tulisan yang bisa dibuat molor berpajang-panjang hingga puluhan ribu karakter, kenapa tak diperes aja menjadi ribuan karakter atau lebih padat lagi, ratusan karakter. Yang penting subtansinya sudah jelas. Menulis novel aja Motinggo Boesye menerapkan prinsip itu. Penerapan kalimat-kalimat pendek, kalimat langsung, penyaringan kata-kata mubasir, sehingga novelnya terasa lebih enak lebih mengalir ke muara ending secara elegan.
Saya yang hobi menulis masih sering gagal menerapkan STP ini. Apalagi saat menulis short story, saya sering lupa pada esensi prinsip ekonomi kata itu. Masih sering terjebak terbawa enaknya mengklik-klik tuts di papan kunci, apa lagi kalau sedang mood. Terutama ketika menulis prosa dan esei. Jebakan untuk berliku-liku berbahasa itu sangat mengganggu saya. Ketika sadar, terpaksa repot sendiri menyunting dan menyortir mana kata yang pantas disingkirkan dan mana yang masih layak dipakai.
Tapi, mudah-mudahan saja ke depan saya makin sering ingat dan merasa perlu menerapkan STP itu. Singkat Tapi Padat. Ada benarnya juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun