Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Iis Sugianto Dendangkan Tangiang ni Dainang (Doa Ibu)

4 Agustus 2014   16:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:27 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1407134951477005008

Itu hebatnya seni nyanyi/musik. Bukan bahasanya yang penting, tapi terutama irama,rytme, musik yang mengiringi, dan siapa yang menyanyikan. Yang terakhir ini penting, selain tiga faktor di atas.
Misalnya, dengar ketika artis top Eddy Silitonga mendendangkan lagu Minang atau Melayu Deli. Terasa pas bangat. Dan yang mendengar (orang Minang atau Melayu) tak terlalu pusing menyimak suara siapa yang begitu merdu dan fasih mendendangkan lagu etnik mereka. Atau ketika penyanyi papan atas Broery Pesolima atau Nia Daniaty pernah rekaman lagu Batak Toba dan albumnya meledak di pasaran.
Itulah luar biasanya dan muzijatnya seni musik. Sama saja ketika kita mungkin tak paham bahasa Inggeris, Latin, Cina, Italian dan sebagainyan saat mendengar sebuah lagu, yang penting lagu/iramanya bagaimana, musiknya pas nggak atau fals, sentimental ataukah kocak. Lagu Melayu, Sunda, Padang, Ambon, Papua, Jawa, juga akrab di telinga ini walau saya tak mengerti lyriknya. Itu lagu Bengawan Solo karyanya Gesang sering didendangkan dimana-mana, bahkan di kampung saya Tapanuli. Pada sebuah acara formal pemerintahan, pernah seorang Danres (sekarang kapolres) didaulat menyanyi ke panggung. Tau siapa dan lagu apa yang dinyanyikannya. Dia orang Batak dan lagu yang mau dinyanyikannya justru lagu Jawa "Walang Kekek" yang dulu populer di tengah masyarakat. Ketika MC bertanya kok pak Kapolres nyanyi itu, dengan ringan Kapolres yang tampaknya nasionalis itu berkata," supaya berwarna, dari tadi lagu Batak dan lagu pop melulu, kita di Indonesia ini berwarna karena banyak suku, kita buatlah supaya selalu berwarna. Lihat itu tadi Pak Sukarjianto (jawa/kompasianer) nyanyi lagu Batak Anju Au, itu juga supaya berwarna.
Apa yang saya catat di atas merupakan bagian implementasi rasa atau semangat kebangsaan yang hendaknya terus dipupuk dan dirajut makin kuat, di tengah pernak-pernik pluralisme dan cubitan-cubitan intoleransi di wilayah tertentu di negeri besar ini. Dari satu sudut pandang yang strategis, musik dan lagu bisa diarahkan sebagai pemicu atau penyemangat kebersamaan dalam konteks harmonisasi jiwa sebangsa setanah air. Terlepas dari apakah seni musik itu umumnya bermuatan komersial atau hanya pengorbitan seorang biduan.
Sebagai orang yang berasal dari etnik Batak Tapanuli, Sumatera Utara, saya terharu, suatu ketika saya makan di rumah makan Padang di Kisaran, Kabupaten Asahan,lagu yang dari tadi diputar melalui dvd kebanyakan lagu Batak yang dinyanyikan Broery Pesolima dan Iis Sugianto. Dua penyanyi non Batak berasal dari dua etnik berbeda. Pasti banyak yang tahu Iis Sugianto yang mempopulerkan lagu Jangan Sakiti Hatinya karya Rinto Harahap.

[caption id="attachment_350990" align="alignnone" width="300" caption="Iis Sugianto, jangan sakiti hatinya. (you tube)"][/caption]

"Ibu dari tadi putarin lagu Batak itu, memangnya enak?" tanya saya saat ibu pemilik warung menyuguhkan makanan yang saya pesan.
"Saya sih suka aja dengar lagunya walau tak mengerti banyak," katanya tersenyum lembut. Ibu tiga anak bersuamikan pria Minang ini, asli orang Jawa dari Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Diajak cerita ibu ini malah berkisah nostalgia tentang Pak Dahlan, suaminya. Dulunya ia seperti nikah terpaksa dan banyak hambatan saat sudah saling setuju nikah. Pihak keluarga pak Dahlan kurang setuju bermenantukan Sutinah, karena Dahlan sudah dijodohkan dengan gadis Minang pilihan mereka. Tapi yang tak setuju itu hnya ayahnya Dahlan, sedang isterinya ibu Sutinah tak mempersoalkan pada siapapun anaknya nikah. Tapi Dahlan dan Sutinah tetap nikah juga di Medan. Dan lebih lima tahun ayah Dahlan tak mau openin pernikahan anaknya dengan boru Jawa itu. Tapi ibu Dahlan tak henti-hentinya membujuk suaminya dengan sabar dan mendoakan agar pendirian suaminya berobah. Sampai akhirnya suatu saat ayah Dahlan menyadari tindakannya yang keliru, dan sejak dua tahun lalu sudah mau mengunjungi anak dan menantunya di Kisaran. Bahkan ia jadi salah satu kakek berbahagia melihat cucunya yang lucu sudah tumbuh sehat dan bisa diajak bemain. Ayah Dahlan lebih bahagia, melihat kehidupan anak dan menantunya tak kurang suatu apapun melayarkan bahtera rumah tangganya. Usaha rumah makan yang semula hanya warung kecil pinggir jalan, meningkat jadi resto yang laris. Rencananya Dahlan sekeluarga mau pindah buka resto lagi di Pekanbaru. "Kalau kalian butuh tambahan modal, jangan segan minta ke ayah," kata ayah Dahlan belakangan. Tapi Dahlan bilang mereka cukup modal, bahkan membantu ayah ibunya serta mertuanya di Kebumen pun sanggup bila dibutuhkan.
"Saya juga mengakui betapa doa seorang ibu sangat ampuh untuk anak-anaknya, meski saya wanita Jawa tapi saya sangat terharu dan senang setiap memutar lagu Tangiang ni Dainang apalagi kalau yang nyanyikan Iis Sugianto dengan suaranya yang lembut tiada duanya," tutur Sutinah. Lalu ia menuju pesawat dvd, mengutak-atik sejenak memutar ulang lagu Tangiang ni Dainang (Doa Ibu) yang tadi sudah selesai didendangkan penyanyi cantik bersuara berlian Iis Sugianto yang dulu diorbitkan Rinto Harahap.
Awalnya Sutinah tak begitu mengerti lyrik lagu itu. Ia punya banyak langganan sopir truk orang Batak yang sering makan ke restorannya. Dari mereka lah Sutinah sedikit banyak tahu arti syair lagu itu meskipun masih kurang pas.
Nah, agar lebih pas kompasianer akan bantu ibu Sutinah menerjemahkan lyrik lagu Tangiang ni Dainang yang sangat populer dengan langgam musik slow rock yang mendayu-dayu. Ini dia jika ada orang non etnik Tapanuli yang juga suka dan mau menikmati lagu batak yang satu ini.
TANGIANG NI DAINANG (DOA IBU)
Tangiang ni dainangi ( doa sang ibu)
Na parorot tondikki ( yang selalu menjaga jiwaku)
Manang didia pe au manang didia pe au (dimanapun aku berada, dimanapun aku berada)
Tongtong do diramoti ( selalu menyertai/memberkati)
Nang sipata sala au (walau terkadang aku salah)
Tartuktuk au di lakkakki (aku tersandung dalam perjalanan hidupku)
Diboan ho di tangiangmu diboan ho di tangiangmu ( selalu kau doakan selalu kau doakan)
Inangku na burju ( ibuku yang baik hati)
Reff:
Hudai na tonggi di parngoluon on
( kucicipi manisnya hidup ini)
Upa ni loja mi tu hami gelleng mon
( Itu upah dari jerih payahmu buat kami anak-anakmu)
Mauliate ma inang (terima kasih untulmu ibu)
Di sude tangiangmu (atas semua doamu)
Penggeng saur matua penggeng saur matua ( moga ibu panjang usia)
Paihut-ihut hami (selalu memberkati kami)
Ibu Sutinah dengan serius mencatat kata terjemahan yang saya berikan, sementara suara Iis Sugianto yang lembut mendayu-dayu masih terdengar mewarnai suasana restoran yang mulai ramai dikunjungi orang-orang yang makan siang. Para tamu itu tak tahu mereka etnik mana, tampaknya turut menikmati lagu itu, bahkan ada orang pria berbadan besar itu sepertinya ikut mendendangkan lagu itu dengan suara perlahan...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun