Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (7)

17 September 2014   18:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja kemarau panjang di Pulau Samosir begitu cerah. Langit bersih tak berawan. Tapi di ufuk timur cahaya kekuningan muncul di atas pegunungan. Sibalik hunik,kata orang sana. Biasanya ada mitos tertentu mewarnai cahaya mentari tenggelam berbaur kemerahan seperti itu. Ragam penafsiran para tetua zaman dulu.

Sebuah kapal motor bergerak gemulai menyusuri danau, menepi dekat pantai berbatu, di belakang hotel Silintong, Tuktuk. Seorang awak kapal memakai topi model Sherlock Holmes melambaikan tangan ke arah hotel, berseru: Parapat...Parapat”.

Tampaknya di sore temaram itu tak ada penumpang yang mau ke Parapat. Tapi dari hotel Carolina dan Toledo Inn sejumlah turis bule sudah menunggu kapal. Seorang pegawai hotel yang sedang menyirami bunga di taman belakang hotel membalas dengan lambaian tangan. Kapal menepi perlahan mendekati Toledo Inn.

Di kamarnya yang menghadap Danau Toba, Nika baru saja mandi keramas rambut. Ia begitu menawan, kombinasi dengan indahnya panorama senja kekuningan. Dilepasnya pandang lewat jendela bundar kamar mandi, melihat kapal motor bergerak pelan menyusuri air danau yang berkilau ditimpa sisa cahaya mentari yang tak lama lagi akan bersembunyi di balik pegunungan. Warna kuning itu sedikit demi sedkit mulai menghilang, berganti warna kelabu menjemput malam.

Nika tersenyum, menatap kapal motor melaju arah selatan. “Inilah Danau Toba terbesar di Indonesia yang kesohor kemana-mana,”bisiknya dalam hati, seraya menggeraikan rambutnya yang basah terurai lepas. Ia merasa tubuhnya segar setelah perjalanan panjang kemarin mulai dari Medan ke Parapat, dan dari Parapat ke Tuktuk. Nika teringat sekilas, dua hari sebelumnya di Bandara Soekarno-Hatta. Di antara bising mesin pesawat yang datang pergi. Di antara ratusan atau ribuan manusia yang lalu lalang dengan kepentingan masing-masing. Nika merasa secara pribadi ia berubah total. Biasanya ia senang dengan keramaian. Ia suka shopping ke mal atau plaza, nonton bioskop dengan Gito. Kalau Gito lagi tak ada karena sibuk kerja, Nika mengajak teman lainnya raun-raun ke mana saja. Nika rela mengeluarkan duit banyak untuk traktir teman.

Nika teringat ketika nonton film dibintangi Angelina Jolie dan Brat Pitt di bioskop, tangan nakal Gito mengelus dengkulnya, dan Nika menggelinjang kegelian.”Jangan ah bang, jangan bang, geli...”, Nika pun menarik tangan Gito dengan halus tapi tegas. Dan saat Gito mengecup keningnya dalam kegelapan itu, Nika pun memejamkan mata, bahkan ketika Gito minta cium bibirnya.”Sudah mas, idiiih gak malu diliatin orang di belakang...”, Nika seakan merintih. Ia sayang pada Gito, tapi selalu ingat pesan papa mama agar dalam berpacaran jangan mudah tergoda birahi. Harus pintar dan punya komitmen menjaga diri, jangan keluar dari rel seperti kebanyakan remaja sekarang.

Sat hal membedakan Nika dengan teman kampus lainnya. Dia tak suka diskotek, pub, kafe, atau apapun yang menawarkan glamouritas kehidupan modern. Nika begitu teguh menaati nasehat papanya. Nika tak merasa malu, ketika satu saat teman sekuliahnya menyebut dirinya “cewek metropolitan yang kampungan”.

Tapi Nika pernah tergores luka oleh cemburu dan sakit hati, suatu hari ketika bersama temannya Sandra sedang shoping cari hp terbaru di Mangga Dua. Temannya Sandra yang menggamit lengannya dan menunjukkan sesuatu padanya, saat sedang memilih-milih si salah satu toko ponsel. Nika hampir tak percaya dengan pandangan matanya, melihat Gitobergandeng mesra dengan seorang perempuan berambut pirang. Gito? Benarkah itu Gito? Dunia serasa berpusing sesaat. Tapi Sandra menenangkannya, dengan bisikan “ Jangan langsung emosi Nik, siapa tau itu hanya teman biasa dia”. Teman biasa? Tapi kok keliatan mesra begitu, saling pegang tangan. Nika tak kuat menahan perasaan terpukulnya. Ia cepat pulang ke rumah. Diteleponnya Gito berulang kali, tapi ponsel Gito nonaktif. Kecurigaan pun membeludak. Lalu Nika kirim sms,” Senyum dan tawa hanya sekadar saja, sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara, berawal dari manisnya kasih sayang, terlanjur kita hanyut dan terbuai...”. Itu penggalan lyrik salah satu lagu Pance Pondag. Itu pernah dinyanyikan Gito suatu malam ketika keduanya rileks di Romawi Karaoke di Kebayoran Baru.

Gito mati-matian membela diri dua hari kemudian dengan penjelasan, gadis yang digandengnya di mal itu adalah rekan bisnisnya. Gito mohon maaf bertubi-tubi. “Dia hanya teman biasa Nik, dia anak kolegaku dari Iran, maklum kalau berbisnis itu kita harus fleksibel. Namanya juga bisnis.”

Nika pun memaafkan Gito. Tapi kedua kalinya, pernah terulang lagi hal yang lebih menyakitkan hatinya. Ketika itu Nika dan temannya Sandra dan Ike, iseng-iseng ke Romawi Karaoke. Itu masih siang. Alangkah terkejutnya Nika melihat Gito dan perempuan temannya di mal tempo hari sedang asyik menyanyi bareng sambil berangkulan mesra. Nika ingat lagu itu I cant help falling love with you. Itu memang lagu favorit Gito.

Gito terkejut melihat Nika ada di sana. Ia buru-buru meletakkan mik mengejar Nika dan temannya yang sudah keluar.” Nika tunggu sebentar Nika”, tapi Nika dan temannya sudah masuk ke mobil langsung tancap gas meninggalkan Gito yang terperangah di trotoar.

“Kamu benar Ike, cowok sekarang tak bisa dipercaya, semua playboy,” kata Sandra saat mobil melaju melewati Sudirman. Nika tak bisa berkomentar. Rasa malu menggelayut di benaknya. “ Dia pasti minta maaf lagi Nika, apa kamu masih memaafkan dia kedua kali”. Nika tak menyahut. Ia memegang setir dengan pikiran kacau.

Papa dan mama Nika yang membujuk Nika memberi banyak penjelasan, sehingga Nika memaafkan Gito kedua kali.” Tapi papa mama, ini yang terakhir ya ma. Aku menghargai bujukan papa dan mama,” kata Nika dengan wajah mendung saat hal itu diberitahu pada ayah ibunya. Nika malu pada Sandra, pada Ike, pada Rustina, pada Ayu, pada semua teman yang mengetahui kejadian-kejadian melukai hati itu.

Lalu bencana (Nika menganggap begitu) paling dahsyat itupun datang lagi. Ada komplotan mafia narkoba beromzet miliaran rupiah digulung polisi di Jakarta. Gito salah satu gembong yang diringkus itu, dan gambarnya begitu nyata ditayangkan tv nasional bahkan tv luar negeri. Nika ingin menepis, tak percaya atau tak peduli. Tapi fakta tetap fakta. Semuanya transparan. Nika terpental pada sebuah ngarai frustrasi yang menenggelamkan seluruh mimpi dan harapannya pada sang tunangan.

Dalam hidup ini harus ada pilihan. Nika percaya filosofi Mark Twain itu. Dan itulah pilihannya. Menjauhkan diri dari Jakarta, menjauhkan diri tak hanya dari Gito, tapi dari semua teman, semua yang mengenal dirinya, yang seakan menatap iba atau cemoh pada dirinya. Semua manusia di Jakarta dalam penafsiran Nika mengetahui fakta itu: Gito sang tunangan adalah anggota komplotan mafia narkoba internasional, jaringan Indonesia-Kolombia-Timur Tengah. Maka, untuk pilihan itu Nika tak bisa dibendung siapa-siapa, termasuk papa dan mama sekali pun. Nika berharap dirinya tak terluka selamanya atas bencana yang menorehkan kepahitan itu.

Di Tuktuk, perlahan-lahan ketenteraman itu pun hadir, meski bayang-bayang Gito tak tertepis secepat itu. Nika menggiring mata dan pikirannya menikmati panorama indah Danau Toba, memandang kumpulan burung walet bermain menukik mencium permukaan danau, menatap pegunungan dan gumpalan awan di sekitarnya.

Nika melihat dari jendela kamarnya arakan awan menyisih ke ufuk barat. Serombongan burung putih beriring pulang ke pegunungan. Ada seekor burung yang bisa berhenti di angkasa menari-nari dengan kepakan sayap sebelum meneruskan perjalanan entah ke mana. Air danau mulai berwarna kelam. Di kejauhan dua perahu mendekat ke pantai. Suasana lengang menyergap. Nika sadar kini betapa jauhnya dirinya dari rumah, dari keramaian Jakarta, dari semua teman, dan mereka semua tak tahu ia di mana kini. Yang tahu hanya Tante Rosa dan sopir taksi baik hati yang tak tahu siapa dirinya, dan duka apa yang diusungnya ke pulau ini. Pasti Sandra, Ike, Rustina, Ayu, Betty, teman-teman terdekat mencari-cari, bertanya-tanya, gerangan di mana Nika sekarang. Mereka pasti mengira papa dan mama Nika berbohong, mengira Nika disembunyikan di satu tempat karena dirundung malu. Lalu mama Nika, sesuai kompromi akan menjawab teman-temannya,” Nika diajak tantenya berlibur ke Bali”.

Nika menurunkan gordijn jendela. Berkemas untuk makan di restoran. Tak perlu takut di Samosir ini, seperti kata Sopar, supir taksi yang mengesankan dengan berbagai pertolongannya itu. Nika mengenakan celana keeper putih, kaos biru langit bergaris putih, sandal jepit Rommel yang dibeli mamanya saat pergi mendampingi papanya ke Perancis. Dengan langkah ringan Nika keluar dari kamar, mengunci pintu, menuruni tangga batu menuju lantai dasar. Di taman bunga sudah ada sejumlah orang sedang duduk bercengkerama, menikmati malam cerah yang belum berbintang. Nika mengangguk sambil senyum pada beberapa wanita yang juga melayangkan senyum padanya. (Next)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun