Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kutinggalkan Cintaku Terkapar di Tuktuk (27)

19 November 2014   00:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:28 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Leonardo JT (27)

Pada hari berikutnya, Nika menghabiskan sebagian waktunya memotret berbagai sisi yang menarik hatinya untuk didokumentasi. Ia memotret ibu-ibu di sawah ladang, anak-anak menjunjung kayu api pulang sekolah, anak gembala main seruling di punggung kerbau, anak remaja main gitar di tangga rumah,atau anak gadis menjemur kain di halaman rumah. Semuanya itu menarik dan berkesan bagi Nika yang memang hobi fotografi.

“Hidup ini ibarat deretan gerak yang tak mungkin berulang dalam bentuk semula. Saya penyuka fotografi, namun tak berniat jadi fotografer. Karena,kata orang foto itu bicara seribu kata,atau jangan-jangan sejuta kata,” kata Nika sembari memotret burung bangau di pematang sawah.

Lalu, ia minta Riko berpose di atassebuah batu besar dekat pantai. “Duduk atau berdiri yang santailah Rik,saya mau ambil beberapa pose.” Riko canggung juga minta difoto, tapi ia memenuhi kemauan gadis itu. Saat Riko masih berpikir untuk mengatur posisi, Nika sudah mengklik beberapa kali dengan format continuous. Ada 16 bidikan otomatis.

Hasil jepretan itu ditunjukkannya pada Riko. Nika mendekat pada Riko, dan untuk ke sekian kali Riko mencium aroma khas menyergap penciuman maskulinnya. Momen seperti itu dirasakannya saat naik boat kemarin mengitari Danau Toba. Dan Riko mau tak mau harus mengaku dirinya tegang, menahan nafas. Riko memperhatikan fotonya di layar monitor kamera digital Nikon itu. Tak terlalu jelas, karena jarak masih terlalu jauh. Nika mendekatkan kamera agar lebih jelas. Semerbak aroma itu meresap dan mengelus hingga ke jantung Riko. Untuk pertama kalinya Riko merasa jantungnya tak beraturan. Frekuensi detaknya meningkat dari detak normal. Dag dig dug? Wajah Nika dalam jarak relatif dekat, di mata Riko begitu halus lembut seperti kulit bayi. Riko sempat melihat beberapa titik jerawat kecil bertengger dekat hidung mancung itu. Riko juga melihat tahi lalat mungil di sisi kiri pipi kemerahan itu. Begitu original,tanpa sapuan bedak,dan bibir indah tanpa lipstik. Nika benar-benar cantik, bisik Riko spontan. Mata Riko juga sempat melirik kalung bermata berlian yang bergoyang di belahan bukit kenyal yang sedikit terbuka itu. Bah, mulusnya kulit di belahan bukit itu.

Riko gugup, ketika matanya bersirobok pandang dengan Nika.”Mmmm...ya fotonya bagus, tapi orangnya yang jelek,” komentar Riko ketika Nika men-zoom foto Riko yang barusan diklik. Nika menimpali,” Tapi orang yang memotret yang jelek,” Nika tertawa rincing, begitu merdu dan melankolis di telinga Riko.

Riko langsung memotong,” Bukan, bukan begitu Nik. Yang motret cantik, tapi yang dipotret yang kuno.”

Sambil mengamati foto terkait lainnya, Nika berkata,” Orang yang kufoto tadi ganteng kok, macho bangat lagi.”

Riko merasa tersanjung, atau terapung berjuta rasa. Baru kali ini selama hampir sepekan kebersamaannya dengan gadis ini, telinganya mendengar dirinya disebut ganteng dan macho. Ah, yang benar aja, bisik hatinya dalam keterapungan itu. Orang kerjanya mocok-mocok begini, biar ganteng apalah artinya,kata hati yang satu lagi. Seingat Riko, gadis lain yang pernah menyebutnya ganteng dan macho hanya Riris di Tarutung sana. Bedanya, Riris mengatakannya dengan berbisik saat berduaan di malam minggu di bawah cahaya rembulan.”Abang memang ganteng makanya pasti banyak gadis yang naksir di kampung orang ya. Jangan-jangan bang Riko sudah main mata dengan gadis kota yang jauh lebih cantik.” Nada cemburu yang tercetus spontan.

Ketika itu, di bawah pohon jambu di samping rumahnya, Riko sedang memeluk Riris dengan mesra selangit. Dan Riris memejamkan mata, menunggu ciuman menempel di bibirnya. Tapi itu tak jadi, karena ibu Riris tiba-tiba memanggilnya dengan suara lantang dari rumah. “Riris, di mana kamu Ris, belikan dulu obat sakit kepala ayahmu ke warung sana.”

Hari ke enam itu, tak seperti biasa, Nika bilang mau istirahat total dulu satu harian. Mata hari sudah mulai berguling perlahan ke ufuk barat, dan tak lama lagi akan terbenam dalam pelukan malam.” Sampai besok lagi ya Rik, saya agak capek, mau istirahat dulu. Nanti kamu saya telepon lagi saat kita jalan lagi.”

Riko juga sebenarnya merasakan hal yang sama. Selama lima hari berturut bersama gadis itu terasa menyita energi juga. Selama lima hari itu harus jalan kaki, berputar-putar sekeliling pantai, kampung-kampung warga, melintasi jalan berbatu, mendaki dan menurun. Riko kagum melihat ketahanan fisik Nika. Gadis itu tak hirau saat berkeringat. Saat kehausan, ia menahankannya sampai tiba saatnya membeli minuman botol dari satu kios minuman di tepi jalan.

Awalnya Riko menganggap Nika gadis aneh dengan tingkah yang sulit diduga ke mana arahnya. Tapi belakangan Riko jadi kagum ketika mencermati bahwa semuanya itu bukan tingkah yang dibuat-buat karena kompensasi, melainkan tingkah yang terimplementasi dari sifat aslinya. Kesederhanaan pola pikir, kesederhanaan tindak laku, dan kesederhanaan memandang sesuatu. Respek terhadap Nika juga ketika satu saat Nika mengatakan keinginannya untuk merasakan makan bersama di rumah warga desa. Ingin merasakan seperti apa rasanya hidup di dusun. Di rumah berkolong seperti sering diamatinya di wilayah itu. Dan Riko pun berkata,” Itu mungkin Cuma sebatas keinginanmu saja Nik, dan setelah melihat apa yang mau dimakan, mungkin tak cocok dengan kebiasaan lidah kita.”

Riko memberi gambaran tentang sebagian warga masih memasak menggunakan kayu bakar, ikan asin bakar, cabai yang ditumbuk pakai rempah andaliman dan kemiri gonseng, sayuran ubi singkong yang direbus seadanya. Lalu makannya pada sehelai tikar lusuh.

“Masyarakat kami secara umum di Tapanuli masih banyak yang hidup dalam kebersahajaan atau bahkan kemiskinan.Tapi sering pula dibantah pejabat dengan berbagai alasan ketidakbenaran.” Riko menjelaskan pikirannya.

Tapi jawaban Nika di luar dugaan.” Justru kemiskinan itu yang ingin kumasuki dan kurasakan Riko. Saya ingin memasuki suatu wilayah kehidupan,yang sejak lahir belum pernah kurasakan secara nyata.”

Riko menjelaskan, wilayah Tanah Batak itu cukup luas. Nika tampak antusias mendengar gambaran yang dipaparkan Riko secara sederhana. Nika bertanya,” Dan kampung Riko yang namanya Tarutung, di mana letaknya itu kalau boleh tahu.”

“Kampung saya lumayan jauhnya dari sini ke arah utara sana. Daerah itu terletak dalam sebuah lembah yang berpanorama indah dengan pegunungan memanjang dan air sungai yang membelah kota. Pemerintah di sana telah membuat motto kota itu menjadi kota wisata rohani dengan bangunan salib besar di atas bukit.”

Keterangan itu ternyata menarik perhatian Nika.”Kalau begitu satu saat kalau waktu masih memungkinkan, aku ingin ke sana. Apa Riko bersedia menemani juga?”

Riko tak menyangka gadis itu justru punya keinginan yang berkembang.”Memang kampung saya termasuk daerah wisata juga, meski di sana tak ada danau seperti di sini. Yah, kalau punya keinginan mau ke sana, saya bersedia aja danmenjadi kebanggaan bagi saya kalau ada yang berminat mengunjungi kampung halaman kami itu.”

Itulah percakapan akhir menjelang tiba di hotel. Nika sesungguhnya merasakan suatu gejala kelainan pada kondisi fisiknya. Kepalanya terasa sakit mendenyut, dan serasa ada gejala demam. Tapi ia tak memperlihatkannya pada Riko. Hanya Riko yang merasakan kalau gadis itu terlalu letih dan ingin istirahat.

“Sampai ketemu lagi ya bang Rik, tolong hp mu terus diaktifkan, siapa tahu besok kita bisa lanjut lagi.” Nika memberi seulas senyum manisnya, dan sepasang matanya yang tertutup kacamata hitam itu menatap Riko dengan tatapan mata lembut.

“Selamat beristrahat, moga sehat selalu.” Kata Riko mengangguk. Riko pulang ke rumah kosnya dengan kaki dan pikiran yang amat ringan. Diparkirnya motor bututnya seraya bersiul kecil, membuat ibu kosnya yang biasa dipanggilnya Namboru senyum-senyum memandang dari jendela."Pasti ada yang membuat Marihot ini senang seperti dapat hadiah undian," gumam perempuan paruh baya itu geleng kepala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun