Sungguh, Piala Dunia 2010 Afrika Selatan merupakan pesta meriah manusia sejagad empat tahun sekali. Sepak bola menjadi magnet tersendiri yang menyihir miliaran manusia bumi ini untuk bermimpi. Ya, bermimpi tim kesayangannya menjadi juara dunia, setidak-tidaknya tidak kalah memalukan. Pesta ini selalu berkelanjutan empat tahun sekali. Apa yang menyebabkan sepak bola menjadi olahraga nomor satu di jagad ini, padahal yang dipermainkan adalah satu bola, satu lapangan, dua tim dengan duapuluh dua orang. Jawabannya adalah karena spirit permainan itu sendiri. Kreativitas, kerjasama tim, skill individu, strategi pelatih dan mentalitas pemain menjadi atraksi yang menarik dari sepak bola. Tak lupa animo dan fanatisme fans menambah daya magis sepakbola menjadi olahraga yang tak akan pernah ada matinya.
[caption id="attachment_192013" align="alignleft" width="304" caption="Ilustrasi/Admin (afp)"][/caption]
Sepak bola yang indah, bukan hanya sekedar mengejar kemenangan belaka sebagai tujuan akhir, adalah permainan yang harmonis antar lini dalam satu tim. Nilai harmonisasi ditambah unsur sportivitas atau fair play akan menambah permainan sepakbola bukan hanya drama yang menegangkan di lapangan namun juga pelajaran akan satu hakekat pembangunan, yakni pembangunan fisik tanpa merusak lingkungan. Lalu apakah hubungannya sepakbola, piala dunia dengan pembangunan berkelanjutan? Dalam sepakbola ada tiga elemen yang menjadi roh permainan, yakni: kerjasama dan mentalitas tim, leadership dan strategi pelatih, dan kedisiplinan pemain (dalam dan luar lapangan). Tiga unsur ini bersatu padu membentuk kesebelasan yang kompak, kreatif di lapangan dan taat aturan. Inilah spirit sepakbola disertai asas fair play yang senantiasa dikampanyekan FIFA.
Sama halnya dengan pembangunan berkelanjutan, dimana prinsip lawas tapi relevan - triple bottom line of development (TBL) - menjadi roh pembangunan yang lestari yang mengaitkan-erat elemen people (manusia), profit (laba) dan planet (kelestarian lingkungan). Bumi itu satu, dihuni oleh lebih dari 6 milyar penduduk maka sustainable development (pembangunan berkelanjutan/lestari) bukan lagi sekedar paradigma melainkan jalan keluar (a way out) untuk menjadi ‘permainan’ yang berdisiplin dan punya aturan. Singkatnya, pembangunan lestari adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Intinya adalah pembangunan fisik tanpa merusak!
TBL (Triple Bottom Line)
Tidak seperti sepakbola yang digandrungi oleh seluruh golongan manusia, maka perhatian pada “people” dalam pembangunan lestari masih jauh panggang dari api. Dunia bisnis yang menganut prinsip TBL tidak akan menggunakan buruh super murah apalagi anak-anak sebagai modal untuk mengurangi fixed cost. Jelas eksploitasi anak-anak dihindarkan, upah buruh diperhatikan dan dibayar secara manusiawi, lingkungan kerja memadai dengan jam kerja yang sehat. Bisnis yang berbasis TBL akan membayar kembali value kepada masyarakat sebagai kontribusinya dalam pembangunan komunitas lokal entah itu dalam bentuk CSR maupun program kemitraan yang bersifat empowering masyarakat.
Kedua, ibarat bumi itu bagaikan bola yang bundar, 24 jam ber-rotasi, disertai aturan-aturan alam (kapasitas lingkungan atau carrying capacity).Tim sepakbola bermain 2 x 45 menit, plus adu pinalti untuk pemenang akhir. Inilah siklus pertandingan bola. Pembangunan berkelanjutan dalam unsur “planet” memiliki siklus “cradle to grave” yakni sistem daur hidup produk dari mulai saat awal hingga akhir atau bahasa gaulnya adalah mekanisme end to end. Singkatnya dalam sistem ini ada suatu ukuran biaya lingkungan dimulai dari tahap membuat dan mengumpulkan bahan baku, memproduksi di pabrik, distribusi ke pelanggan hingga dibuang (tidak dipakai kembali) oleh pelanggan. Selain itu perusahaan atau organisasi yang menganut azas ini tidak akan membuat barang-barang berbahaya baik secara kesehatan, mengandung material racun maupun bersifat merusak lingkungan. Intinya, mereka menerapkan asas ecological foot print dalam produk-produknya.
Ketiga, selama ini profit selalu diukur dari uang yang merupakan nilai ekonomis suatu bisnis atau organisasi. Dalam prinsip TBL ini, profit dihitung setelah mengkover biaya-biaya input termasuk biaya modalnya. Jadi sedikit berbeda dengan prinsip akuntansi tradisional. Di sini profit dilihat sebagai benefit ekonomis yang dapat dinikmati bukan hanya oleh perusahaan tersebut tetapi oleh masyarakat sekitar. Intinya, output ekonomis yang menghasilkan profit harus selaras dengan daya dukung lingkungannya, tidak bisa eksesif dan exploitatif terhadap alam. Jadi prinsip ini memperhatikan kualitas profit bukan sebanyak-banyaknya profit tetapi lingkungan rusak-tercemar.
Sustainability, satu kata bermakna dalam, diambil dari bahasa latin “sustinere” (artinya bertahan lama, berlangsung lama). Kalau sepakbola secara sustainable bermain dalam liga-liga profesional dan amatir yang bersifat reguler maka pembangunan lestari sudah sepantasnya menjadi arena bisnis yang seimbang, selaras dan sejalan dengan lingkungan sekitar. Inilah tujuan akhir dari prinsip TBL yakni mencapai keberlanjutan atau kelestarian pembangunan fisik yang beradab dan adil terhadap semuanya. Sustainability bukanlah utopia pembangunan tetapi suatu strategi ‘jogo bonito’. Inilah permainan indah bukan hanya mengejar tujuan akhir laba sebesar-besarnya, tetapi tujuan akhir yang mulia yakni pembangunan yang bertahan selama-lamanya hingga kiamat.
Perubahan iklim saat ini adalah akibat ulah manusia dalam praktek business as usual as it can be to make profits as much as possible. Apabila mengambil analogi sepakbola, maka mirip-mirip fenomena efek negatif kapitalisme sepakbola, yang bisa membuat klub-klub bangkrut dan negara kehilangan identitas tim nasionalnya karena invasi pemain-pemain asingnya. Pembangunan lestari tidak boleh mengesampingkan kearifan lokal. Illegal logging dan deforestasi bisa dicegah dengan mengajak masyarakat lokal untuk berpartisipasi di dalam value-chain sektor kehutanan. Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal adalah pekerjaan yang layak, kalau tidak mereka juga akan ikut-ikutan membabat hutan untuk dijual kepada cukong. Pekerjaan yang layak disini adalah berkaitan dengan kelestarian hutan itu sendiri, dimana peran serta masyarakat menjaga dan memanfaatkan hutan secara lestari dimasukkan dalam perhitungan cost-benefit buat mereka. Jadi mereka menjadi stakeholder pertama dalam rantai nilai kehutanan.
Kedisiplinan dan Leadership
Dalam sepakbola, peran pelatih sangatlah dominan. Kepemimpinan dan strategi pelatih menentukan arah permainan anak-anak asuhnya di lapangan. Di lapangan, kepemimpinan seorang playmaker dan atau sang kapten menjadi sesuatu yang vital untuk membentuk orkestra permainan tim yang variatif sesuai instruksi pelatih. Begitu juga halnya dalam pembangunan lestari, sang Presiden di tingkat nasional dan sang Gubernur-Bupati harus memiliki visi yang jelas dan komitmen yang kuat.
Kerusakan lingkungan di negeri ini seperti di Bangka dan Kalimantan yang miris hati akibat strategi dan kepemimpinan Pemimpin kita yang lemah. Komitmen memang ada, tetapi mengejahwantakannya di lapangan ibarat berteriak di padang pasir. Aturan saling tumpang tindih dan bisa diubah-ubah. Rencana tata ruang dan tata wilayah propinsi bisa saja berubah-ubah demi meraup pendapat asli daerah secara instan.Konversi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan sawit serta pemberian ijin kuasa kepada penambang-penambang lokal tanpa uji kelayakan lingkungan yang optimal menjadi contoh strategi pembangungan yang lemah.
Dalam sepak bola ada aturan, kartu kuning, kartu merah, pun ada sanksi buat individu pemain bahkan klub. Lihat contoh kasus calciopoli, Juventus terdegradasi tahun 2006 lalu karena menyuap wasit. Dalam soal pembangunan lestari di negeri ini, pelaku kejahtan lingkungan tidak pernah diberikan efek jera. Kita juga tidak pernah bisa menyeret korporasi yang merusak hutan dan perairan ke meja hukum. Apalagi sang pembuat kebijakan, tidak pernah ada hukum yang adil kepada mereka manakala mereka mengeluarkan ijin yang bertabrakan dengan undang-undang.
Jadi, mungkin ini naifnya saya, bisa saja pembangunan lestari akan sulit terwujud di negeri ini apabila dibandingkan dengan kisruhnya PSSI dalam mengelola sepak bola di negeri ini. So, adakah harapan buat terciptanya lingkungan dan pembangunan yang selaras di republik ini? Jawabannya adalah lihatlah sepakbola yang profesional di negara lain. Mungkin terasa naif dan tidak relevan terhadap isu utama ini, tetapi sekali lagi apabila pembangunan lestari sama menariknya dengan sepak bola mungkin kita bisa bangga menjadi bangsa sendiri. Negeri ini kaya akan keanekaragaman hayati dan dapat menjadi bangsa yang mandiri, terdifferensiasi dan memiliki daya saing tinggi. Tirulah Brazil, timnasnya superior di dunia, negara berkembang dan pemimpinnya konsisten terhadap pembangunan lestari. Who knows!
Penulis adalah Anggota Corporate Sustainability Team, Bank BNI. Tulisan ini Pendapat Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H