Mohon tunggu...
Leonardo Marboen
Leonardo Marboen Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

SD di Kampung SMP di Kampung SMA di kampung Kuliah di Medan Jangan malu jadi orang Kampung Jika engkau benar-benar dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Proyek Nasionalisme yang Belum Selesai

7 September 2019   12:49 Diperbarui: 7 September 2019   12:47 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi matahari seperti malas bergerak. Meski nyanyian burung-burung sedari awal sudah lama ingin menyambutnya.Tapi burung-burung itu tetap bersukacita. Dan saya iri dengan kicauan dan siulan itu. Teringat lagu, seandainya aku punya sayap...terbang..terbanglah aku. Dan aku tergerak ingin cari ilham dari suara-suara itu.

Ilham! Kata Sitor Situmorang ilham itu mencari,meminta bentuk, dan dia menemukannya lewat penulisan. Si penyair bekerja dalam keadaan yang lebih mendekati trance . Tinta,pena,jari, hati,benak berpadu dengan ide lalu lahirlah bentuk. "Sound efect" itu menjadi trigger dari proses ilham,dan seterusnya, yang mencakup berbagai bidang dan tingkat pengalaman, simpanan yang menumpuk di bawah sadar  (atau di benak?) Saya. Begitulah Sitor memulai proses kreatif, ketika menulisan syair, puisi-puisi yang melampaui awam

Pagi tadi saya dapat ilham dari suara burung-burung , jemariku kugerakkan di keyboard mini smartphone, sembari menikmati indahnya pagi. Ilham tentang Indonesia yang kerap terancam perpecahan. Dan sepertinya tiap hari burung-burung itu mengejek manusia yang belum beranjak dari tempat "tidurnya" soal ke Indonesian.

Dan aku terasuki dari suaranya,merdu bersahutan, walaupun tak senada, seperti saling mengenal satu sama lain. Mereka dipersatukan dalam bayang bersama bentangan alam semesta. Lagi aku teringat lagunya Koes Plus..Pagi yang indah sekali.. berteman burung kenari. Berseri sepanjang hari.Kesetiaan  memberi nada merdu bagi penghuni bumi. Di Singapore bisa menyaksikan kedekatan manusia dengan burung, lepas terbang , sesekali mendekat seperti mengajak bermain-main.

Ilhamku pagi ini dari suara burung-burung tentang Ke- Indonesian, bagaimana bangsa yang menjadi Bangsa yang seutuhnya. Membangun orkestra kebangsaan,walaupun tidak saling kenal,bahkan berbeda jenis. Tetapi melahirkan seruan bersama, membayangkan alam semesta bersama. Dan manusia Indonesia apakah juga pernah membayangkan dirinya ingin bersama dengan ragam suku,agama,dan ras. Seperti burung-burung itu. Sejatinya begitu agar tak ada lagi rasialisme, agar tak terjadi lagi peristiwa Papua. Meski ada perbedaan di sana,meski beda suaranya,bulu, tubuhnya, jenisnya tapi burung-burung menampilkan orkestra pagi. Tak senada tapi memberi isyarat kebersamaan di bentang alam, membentuk , memberi rasa cinta. Teringat lagi lyrics lagu Symphony Yang Indah .. "Burung-burungpun bernyanyi,bungapun tersenyum".  Seperti mereka membawa damai.

Hatikupun mekar kembali melihat Indonesia ku....
Ilhamku pagi ini tentang bagaimana merawat kebangsaan.

Indoktrinasi tak akan bisa membuat lebih baik, buktinya orde baru dengan P4 tak mampu membumikan Pancasila. Saya membayangkan terus kebersamaan yang di antara suku,agama,ras yang berbeda. Seperti kata Ben Anderson, Imagine Community, (komunitas terbayang). Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas politik yang terbayang (imagined political community). Dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa sesuatu yang "dibayangkan" karena anggotanya tidak tahu,tidak kenal, bertemu atau mendengar sebagian anggota lain, tapi pada benak mereka hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Sebagaimana burung-burung pagi ini yang membayangkan dirinya seperti bermain orkestra saling bersahutan menampilkan irama nan indah dan damai.

Ilhamku pagi itu tentang burung-burung yang bernyanyi bagai orkestra dengan atau tak saling mengenal memberikan nada-nadanya , kompak walaupun ada perbedaan di sana. Saya mendapat ilham bahwa proyek nasionalisme yang belum selesai. Kita belum seutuhnya senada dan seirama tentang Indonesia. Dan belum seirama membayangkan Indonesia.  Komunitas terbayang yang harus terus dirawat. Dan tentunya semua harus ada keadilan di sana. Soekarno katakan bahwa Nasionalisme tanpa keadilan adalah nihilisme (Soekarno Penyambung Lidah Rakyat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun