Pada 17 Februari 2024, penulis berkesempatan untuk hadir di festival Film pendek tentang kebhinekaan di perpustakaan Jakarta Pusat yang terletak dekat Museum Nasional. Pada kesempatan kali ini, penulis bisa menonton dua film, yang pertama mengenai kesulitan para penganut agama kepercayaan untuk bisa diterima lingkungan sekitar dan yang lain bercerita tentang sulitnya warga negara Tionghoa Indonesia untuk mendapatkan hak guna bangunan di Yogyakarta.Â
Film pertama mengisahkan tentang Nata Hening Graita Prameswari, seorang penganut penghayat kepercayaan Sapto Darmo di daerah Jawa Tengah, yang sulit diterima masyarakat karena ketidaktahuan mereka. Ia bercerita bahwa pada saat ia sekolah ia harus mengikuti agama mayoritas untuk bisa mengikuti pelajaran agama, ia bahkan sempat memakai hijab agar bisa diterima di dalam sekolahnya dan berbaur dengan masyarakat mayoritas. Ia terus hidup dalam tekanan dan tidak bisa bebas menjalankan kepercayaannya di antara masyarakat mayoritas sampai ia menginjak kelas sepuluh. Ketika ia memasuki kelas sebelas, peraturan mengenai agama dan kepercayaan di Indonesia diubah sehingga penganut penghayat kepercayaan bisa bebas menjalankan ajaran agamanya dan tentu saja kolom agama di KTP juga bisa mencantumkan agama penghayat kepercayaan. Namun, walau demikian, ia tetap mendapatkan diskriminasi dari beberapa orang dan juga masih mendapatkan kesulitan saat mengurus berkas yang berkaitan dengan agama. Walau begitu, Nata dan orang-orang penganut penghayat kepercayaan tetap cinta negara Indonesia dan tidak menyalahkan orang lain atas keadaan mereka dan mereka tetap mencoba pasrah dan menerima keadaan mereka hingga suatu hari keadaan mereka bisa berubah menjadi lebih baik.Â
Film kedua, Simalakama di Tanah Istimewa, mengisahkan tentang tercabut nya hak sipil warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam memiliki hak guna bangunan di Yogyakarta. Entah bagaimana caranya, pemerintah setempat justru mengacu pada keputusan usang dari Paku Alam pada tahun 1982 yang melarang warga negara Eropa dan Asia untuk memiliki tanah di Yogyakarta daripada keputusan Agraria yang lebih adil. Akibatnya seluruh warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta tidak bisa memiliki tanah dan bangunan sendiri dan mereka hanya bisa mendapatkan hak untuk menggunakan bangunan sementara. Tidak peduli apakah mereka punya jasa atau tidak, keputusan yang tidak adil ini terus diterapkan dan membuat orang-orang keturunan Tionghoa tidak bisa dengan nyaman tinggal di rumah sendiri. Sungguh suatu ironi di tanah istimewa yogyakarta. Di saat daerah lain sudah mulai maju dengan tidak membeda-bedakan kepemilikan tanah, Yogyakarta justru mengambil langkah mundur. Film diakhiri dengan tanpa solusi yang jelas, dan seluruh warga keturunan Tionghoa terkatung-katung di sana.Â
Kesimpulannya, walau negara Indonesia sudah menganut Bhinneka Tunggal ika, namun dalam penerapannya masih banyak yang tidak menerima keberagaman itu, bahkan justru pembedaan berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan masih banyak kita jumpai di pelosok negeri ini. Festival yang baik ini mengajarkan bahwa kita bisa bersama walaupun berbeda dan perbedaan itu harusnya kita syukuri karena itu adalah kekayaan negeri kita yang harus kita Terima dan lestarikan. Yuk ikut Festival kebhinekaan di tahun depan, agar kita bisa ikut menghargai apa yang disebut keberagaman dan dapat menerapkan semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika dengan utuh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H