Mohon tunggu...
Leonardo Eddyson
Leonardo Eddyson Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

ppksurabaya.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terbelah Karena Memandang Kehidupan dari Kacamata Simbol

22 Mei 2019   00:43 Diperbarui: 22 Mei 2019   01:11 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernahkah terbayang di benak kita mengapa begitu mudahnya penganut Agama di Negeri kita dibawa kedalam suatu keadaan "anti otokritik", atau "merasa kebenaran sudah mutlak seperti yang ada di pikiran kita" ?  

Mungkin benar yang dikatakan salah seorang Jurnalis Harian Nasional yang terbit di Surabaya, bahwa banyak orang sangat tergoda untuk membawa Agama yang sejatinya memang abstrak itu, ke dalam ranah yang sangat praktis. Saya seorang Kristen, saya belajar Kitab Suci. Tapi apakah cukup dengan mempelajari itu kemudian saya dapat dibenarkan bila secara serampangan mencuplik ayat-ayat lepas dari konteksnya lalu menjadikannya sebagai dasar pembenaran mutlak atas tujuan tertentu, baik itu Politik atau agenda apapun ? 

Jika saya menjawabnya "Tidak", mungkin akan ada yang bertanya, "Apakah mau mempercayakan pada Otak, Pikiran, tidak perlu Agama ? begitu ?".  Buat saya tentu juga tidak.  Dari kedua jawaban "Tidak" ini saja orang sudah lelah dan bosan diajak merenung, apalagi untuk orang yang merasa sekarang semuanya serba praktis, tidak njelimet, tentu mereka berharap bahwa sebaiknya cari yang praktis-praktis dulu, kemudian segera mencari dasarnya pada ayat-ayat Kitab Suci, lalu katakan, "Ini buktinya, ayatnya berbunyi demikian ......".

Di sisi yang lain, pengaruh tulisan Kitab Suci yang bernuansa praktis tentang tata semesta sering juga menjadi godaan untuk segera memutlakkannya sebagai Kebenaran (red-padahal Tulisan dalam Kitab Suci itu sama sekali tidak bermaksud untuk dipahami demikian).   

Pada Abad Pertengahan, ketika Para Pemangku Jabatan Gereja di Eropa begitu kuatnya mempengaruhi Pemerintahan Monarkhi, Kebenaran banyak ditentukan dari tafsir lama, yang turun temurun dipercayai karena terlihat cukup jelas dari Kisah Penciptaan dalam Kitab Suci, misalnya tentang Matahari yang mengitari Bumi, Bumi yang datar, Air yang ada di bawah Bumi dan Air yang ada di atas Langit. Konsep berpikir para penulis Kitab Suci ribuan tahun yang lalu ini serta merta menjadi pegangan yang menjelaskan hal praktis, yang harus dianggap Fisika atau Astrofisika yang Final tanpa otokritk dari siapapun. Ratusan tahun kemudian, yaitu kini, di masa kita hidup, kita tahu bahwa Copernicus benar, dia tidak mengungkap Kebenaran itu dari menyelidiki Kitab Suci, tapi dari percobaan-percobaan Fisika. Suatu Kebenaran yang tetap di dalam Kitab Suci tersebut adalah sebuah Thema Besar: Bahwa Allah menciptakan, memelihara dan mengatur ciptaanNya itu. Thema Besar itu tetap, dan tidak boleh kita tergoda untuk memaksakan hal yang sangat detil atau praktis untuk bisa kita muncul dari Thema Besar itu, apalagi untuk memenuhi kerinduan-kerinduan kita terhadap hal yang praktis dalam simbol-simbol keyakinan kita.

Sejarah, peristiwa-peristiwa masa lalu, bisa direnungkan oleh setiap anak negeri tentu ada maksud Tuhan di balik itu.  Jika saya mencuplik peristiwa-peristiwa hukuman yang dilakukan Pemerintah terhadap para pelaku makar di antara Tahun 1949 - 1962, kemudian saya memasang cuplikan itu untuk dilihat publik lepas dari keseluruhan konteksnya, dan saya berharap agar publik terharu-biru lalu menjadi simpati dan mendukung opini atau ideologi saya, benarkah itu adalah maksud Tuhan? 

Sejarah kita adalah garis panjang yang menjadi tempat turun naiknya perjalanan hidup Bangsa Indonesia. Kita sering mengaburkan antara mengkhianati dengan memperjuangkan.  

Kita sering terjebak dalam situasi "Demi sebuah Ajaran", atau "Demi Kebenaran yg dimutlakkan", padahal kalau mau jujur sebenarnya itu berakar pada Kegusaran kita. Gusar pada sesuatu yang abstrak, tetapi karena begitu gusarnya kita, lalu kita memilih untuk memaksakan yang abstrak itu bisa segera jadi praktis, dan mencuplik ayat dalam Kitab Suci lepas dari konteks ini sungguh menjadi jurus yang ampuh untuk menyandung kaki Umat Allah dalam melangkah menyusuri kehidupan berbangsa dan dalam ziarah imannya.

Kebhinekaan dalam Wujud Bangsa Indonesia yang dimerdekakan Allah dari Penjajahan untuk menjadi UmatNya adalah suatu Rahmat, Rahmat Allah YMK. Rahmat Allah itu tidak bisa kita bayangkan hanya seperti hadiah Allah, tetapi lebih sebagai Perjuangan Allah sendiri dalam Sejarah setiap orang di Negeri ini yang merasakan terjajah dan merindu-rindukan Allah memberikan kemerdekaan dan tuntunan menjadi UmatNya yang merdeka.  

Jika kita analogikan dengan Kisah Penciptaan dalam Kitab Suci, maka Titik Kulminasi Perjuangan segenap rakyat Indonesia itu adalah 17 Agustus 1945, lahirnya Suatu Negara yang Sangat Bhinneka dalam wadah NKRI.  

Itu adalah Thema Besar, Kebenaran yang tetap bahwa Allah memerdekakan Bangsa yang sudah mewujud  Bhinneka Tunggal Ika ini, dan Menuntunnya terus untuk menjadi UmatNya yang Setia. Apakah Thema Besar itu akan diredupkan oleh hal-hal yang detil dan praktis yang diunjukkan tinggi-tinggi menjadi Simbol-Simbol Kelompok atau Keyakinan sehingga Thema Besar itu tertutup dan tak bisa diihat lagi ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun