Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Aku terlahir dengan fisik yang lemah. Berat  badanku 2 Kg dengan panjang 38 cm. Menurut dokter waktu itu ibu kurang mendapat asupan gizi yang memadai. Demikian tutur ibuku kepadaku kala aku bertanya tentang kelahiranku. Maklum kami berasal dari keluarga yang tergolong miskin. Ayahku seorang buruh serabutan dengan penghasilan yang bergantung pada nasib baik.
Sejak masuk SMA, hidup keluarga lebih baik. Papa bisa memiliki pekerjaan yang tetap walau penghasilannya pas-pasan. Suatu hari mama menghadap Majikan papa dan meminta kemurahan hatinya untuk membiayai sekolahku. Koh Long, majikan papaku, bersedia dengan syarat gaji papa dipotong lima persen sebagai bagian tanggung jawab papa. Saat itu aku marah namun aku diam. Demikianpun sama halnya saat  tamat SMA. Kali ini potongan gaji papa dinaikkan delapan persen. Waktu itu aku marah setengah mati, tapi apa dayaku?  Akupun berangkat kuliah
***
Setiap bulan mama meneleponku. Ia hanya ingin mendengar ceritaku saja. Aku bahagia karena ia ingin mendengarkan kisahku. Tapi aku marah karena ia tidak pernah jujur dan terbuka tentang keadaan dirinya. Ia tahu aku cemas, tapi selalu berlaku demikian. Sayapun bercerita panjang lebar tentang kuliah, kegiatan harian dan banyak hal lain lagi. Kalau akhir semester, wajib dikirim transkrip nilai! Â Aku marah tapi aku menyimpannya di dalam hati.
Sampai suatu saat:
"Minggu depan mama tunggu transkrip nilainya."
 "Ah.... Bagaimana kalau semester depan saja. Skalian transkrip nilai semester 4, 5, 6" aku mencoba menghindar
Tidak! Minggu depan mama mesti trima. Tidak ada alasan!" Mama bersikeras
"Untuk apa?" saya menjawab dengan nada ketus.
"Sudah tau alasannya, masih tanya lagi." Suara mama makin meninggi.
"Untuk apa?" pertanyaan saya membuat mama berada di puncak kemarahan.