[caption caption="Industri Tiongkok. Sumber: reuters.com_"][/caption]Krisis dan perlambatan ekonomi Tiongkok membuat negara tersebut kewalahan mengantisipasi jumlah tenaga kerja yang besar agar tetap bekerja. Sebagian besar perusahaan dan industri Tiongkok telah kehilangan pasar, permintaan menurun, namun aktivitas dipaksakan untuk berjalan seperti biasa. Inilah wabah Zombie ekonomi Tiongkok.
Sektor industri semakin terpuruk, kemampuan swasta dan perusahaan negara untuk membayar utang luar negeri semakin minim, produksi besar namun permintaan pasar telah tersungkur. Pemerintah Tiongkok yang takut akan dampak pemotongan kerja pada pengangguran, berusaha melakukan upaya zombienisasi berbagai sektor, terus dan terus produksi tanpa penjualan.
Batu bara di Kota Jin Cheng, Tiongkok Tengah, terus ditambang, akhirnya menumpuk tanpa ada permintaan dari pembeli. Para pekerja beraktivitas bak zombie tanpa ada tujuan dari perusahaan.
[caption caption="China coal-mine. Sumber: Sasa Petricic, CBC"]
Hasil olahan almunium juga menumpuk tanpa ada tujuan pasar. Hampir semua praktisi industri di Tiongkok mulai menunjukkan kepanikan. Industri besi dan baja Tiongkok juga sangat terpukul, produksi negara ini lebih besar dari gabungan produksi Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.
[caption caption="China pipe. Sumber: Kim Kyung hoon, Reuters"]
Dekade lalu, pada 2007, selisih produksi dan kapasitas simpan industri Tiongkok nyaris nol, tetapi data 2015 menunjukkan selisih menjadi 13,1 % pada 2015, dan terus naik dalam kapasitas simpan hasil olahan.
Horor Ekonomi
Investasi yang berlebih pada sektor industri kenyataannya membuat Tiongkok terjerat dalam horor ekonomi.
Analis Janet Hao menjelaskan, investasi bidang industri dan tambang jauh melampaui investasi properti pada periode 2000 - 2014. Akhirnya, banyak perusahaan industri mengalami perlambatan, berubah menjadi zombie tanpa keuntungan.
Deutsche Bank memperkirakan 1/3 dari perusahaan kelebihan produksi tersebut mengambil pinjaman baru untuk membayar jerat hutang yang telah ada.
Semuanya berawal saat Tiongkok mengeluarkan kebijakan untuk mengantisipasi krisis keuangan 2008, pemerintah berupaya mempertahankan perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur dan industri berat, dengan memberikan stimulus sekitar $ 568 miliar saat itu.
Ternyata, akibat kelebihan produksi industri membuat Tiongkok masuk dalam kesulitan baru. Sejujurnya, langkah Tiongkok ini juga menyulitkan dunia, terutama negara yang berpegang pada industri dan pertambangan. Otomatis harga komoditas akan terus jatuh, realitas hukum supply-demand, dengan fakta komoditas tersebut tumpah ruah di Tiongkok dibanding permintaan dunia.
Bayangkan saja, sejak kejatuhan komoditas energi, banyak negara yang bergantung pada penghasilan minyak telah jatuh dalam petaka ekonomi, terutama Amerika Selatan. Yang teranyar adalah bangkrutnya Venezuela.
Apa lagi jika komoditas industri dan tambang menjadi murah, maka dunia akan berada dalam resesi global. Banyak sumber pendapatan negara yang akan terguncang, seperti Indonesia sektor Agroindustri Karet yang berantakan karena efek domino kebijakan ekonomi raksasa Tiongkok, ditambah hancurnya komoditas baku tambang, who knows?
Langkah Tiongkok
Menteri Sumber Daya Manusia Tiongkok, Yin Weimin, mengumumkan suatu kebijakan yang mungkin mimpi buruk bagi tenaga kerja Tiongkok. Negara tersebut akan merestrukturisasi sektor industri dan tambang, sekitar 1,8 juta tenaga kerja sektor tersebut akan dipotong. Langkah pahit bagi mengatasi zombie ekonomi.
Namun angka pemotongan tenaga kerja tersebut hanya gambaran permukaan, beberapa sumber tak resmi Tiongkok memperkirakan pemotongan tenaga kerja industri-tambang akan mencapai 6 juta orang.
Pemerintah Tirai Bambu telah menyiapkan sekitar $ 23 miliar untuk kompensasi hanya bagi tenaga kerja batu bara dan baja yang akan segera diputus hubungan kerja.
Pemotongan tersebut merefleksikan kejatuhan ekspor komoditas industri dan tambang Tiongkok untuk kebutuhan global. Secara kasar, setelah investasi berlebih pada industri-tambang, pemerintah selama ini merogoh kocek lebih dalam untuk mempertahankan sektor tersebut.
Enam juta manusia tanpa pekerjaan tentu merupakan katastropi, petaka sosial, dapat menjadi sumber instabilitas nasional Tiongkok. Apakah kita akan melihat kembali model pembenahan ala Mao? Mungkin masuk akal Tiongkok menerapkan padat karya melalui klon perusahaan negara, bahkan mengekspor tenaga kerjanya seantero Asia.
Tiongkok sendiri menyembunyikan frame waktu bagi merumahkan 6 juta tenaga kerjanya, menciptakan rasa was-was bagi banyak negara, karena jelas akan memengaruhi ekonomi global.
Dari sisi komoditas, Tiongkok telah memotong sekitar 150 juta ton produksi baja dan memotong 500 juta ton surplus batu bara. Sadar bahwa zombie ekonomi hanya memperparah keuangan negara dan kapabilitas Tiongkok jangka panjang, meski dibayangi stabilitas akibat pengangguran.
Banyak negara dapat belajar dari problem Tiongkok ini. Euforia kejayaan ekonomi tidak memiliki arti tanpa perencanaan matang dan strategi berorientasi jangka panjang. Bukan tak mungkin, ini menjadi paradoks, kejayaan ekonomi Tiongkok dua dekade malah menjerumuskan Tiongkok dan dunia dalam kehancuran ekonomi dan keuangan yang dalam.
Dasa Novi Gultom
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H