“Bom Teror Medan”
Adalah headline di hari Minggu, 28 Agustus 2016 yang menghiasi media lokal dan nasional. Percobaan bom bunuh diri pada saat Misa Minggu di Gereja Santo Yoseph terjadi dan melukai pelaku dan pastor yang memimpin misa pada saat itu. Bom sendiri gagal meledak dan seluruh jemaat langsung menangkap dan mengamankan pelaku hingga pihak berwajib tiba.
Belum diketahui secara pasti motif dari pelaku yang masih di bawah umur tersebut, namun pelaku mengaku disuruh untuk melakukan pengeboman di gereja tersebut. Peristiwa ini sangat disayangkan terjadi di salah satu kota yang selama ini dianggap kondusif dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen. Para tokoh agama baik dari Gereja Santo Yoseph sendiri dan Ketua MUI Medan serta Walikota Medan langsung memberi himbauan untuk tidak terprovokasi dan tetap menjaga kekondusifan Kota Medan.
Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Terdapat 8 suku besar penghuni Sumatera Utara yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Mandailing, Batak Angkola, Melayu dan Nias. Ditambah lagi dengan pendatang yang berasal dari wilayah lain seperti Padang, Aceh, Jawa, Cina dan India. Medan, sebagai ibukota provinsi yang bergerak di bidang jasa menjadi lahan basah bagi semua suku bangsa tersebut dan membuat Medan menjadi miniatur Sumatera Utara. Jadi jangan heran ketika anda berada dalam 1 angkutan umum, anda akan mendengar lebih dari 5 bahasa yang digunakan oleh penumpang di luar Bahasa Indonesia. Keberagaman suku dan agama tidak pernah menjadi kendala dalam kehidupan sosial penduduk Sumatera Utara. Terbukti, 2 kota di Sumatera Utara yaitu Sibolga dan Pematang Siantar berhasil masuk ke dalam 10 kota paling toleran di Indonesia. Untuk Kota Medan sendiri, saya sudah pernah merasakan bagaimana menariknya kekondusifan yang terjaga selama saya dibesarkan di sana. Mesjid, Gereja, Vihara dan Kuil tidak akan sulit anda temui.
Sumatera Utara dalam 1 bulan terkahir ini selalu “digoyang” dengan pemberitaan berbau SARA. Mulai dari demonstrasi Babi Panggang Karo, pembakaran vihara dan terakhir teror pengeboman rumah ibadah. Suatu kebetulan yang mengejutkan memang. Beberapa dari kasus itu sempat mengusik kekondusifan masyarakat terutama masalah pembakaran vihara, namun tidak berlangsung lama bahkan menurut pemberitaan, masyarakat di luar pengguna vihara turun langsung membantu membersihkan puing-puing vihara. Selebihnya, kasus-kasus tersebut hanya menjadi angin lalu saja bagi masyarakat Sumatera Utara.
Isu SARA sudah barang tentu menjadi senjata utama bagi provokator yang ingin merusak tatanan masyarakat yang telah dipelihara lama. Bukan saja di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Sebut saja kasus terdekat dengan negara kita yaitu kasus Muslim Rohingya. Mengapa SARA? SARA seolah telah menjadi satu dengan pribadi manusia dan jati diri manusia. Sifat manusiawi seperti ingin menjadi yang terbaik dan terkuat membuat isu SARA menjadi senjata mematikan apabila ingin memprovokasi. Isu SARA cara yang paling gampang dan hemat biaya, karena kembali ke sifat manusiawi manusia lagi yang tidak akan menerima begitu saja dan gampang tersulut emosinya ketika jati dirinya diusik oleh pihak lain.
Berbicara soal jati diri, teringat dengan gerakan Karo Bukan Batak seperti di artikel pertama saya. Atas nama jati diri, terjadi “perang argumen medsos” di antara puak Batak. See? Suku yang masih dalam 1 kelompok saja terdapat potensi yang demikian.
Efek provokasi tak teredam alirannya apabila masyarakat memakan umpannya. Rasa tidak aman dan nyaman sungguh akan menghampiri. Itu hanya efek kecilnya saja, saya tidak perlu menyebutkan efek lainnya. Lalu bagaimana cara untuk menghindari provokasi? Tidak sulit sebenarnya asal semua mau menahan emosi.
Semua ajaran agama mengajarkan hal yang baik. Disini saya saya ingin menegaskan tidak ada ajaran agama yang tidak baik. Tindak terorisme ataupun provokasi yang mengatasnamakan SARA terutama agama sesungguhnya tidak beragama. Sesungguhnya lagi, tidak sulit untuk menghiraukan provokasi-provokasi SARA apabila kita berpegang pada ajaran yang baik itu.
Bijaklah memilah informasi. Majunya dunia komunikasi membuat kita bisa mendapatkan informasi jarak jauh dalam waktu semenit saja tanpa harus mendapatkannya melalui informasi dari mulut ke mulut. Yang herannya, masih banyak orang yang merasa paling tersinggung ataupun merasa menjadi korban langsung sehingga emosi mereka berkobar padahal mereka tidak mengalami langsung.
Stop chauvinisme. Chauvinisme cenderung berpotensi terjadi di wilayah yang heterogen. Ingat lagi slogan Negara kita yang telah kita pelajari sejak SD, Bhinneka Tunggal Ika. Semoga slogan itu tetap diamalkan dan bukan sekedar dihafal demi mendapat nilai A di raport sekolah dulu.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!