Adalagi sebutan kos setengah bebas. Kos semacam ini masih ditunggui oleh pemiliknya, tetapi si pemilik seringkali tidak ambil peduli dengan urusan ataupun aktivitas dari penghuninya, sejauh tidak mengganggu ketertiban. Adapula si pemilik baru terlihat ketika sudah sore atau malam hari menjelang jam tamu berakhir. Interaksi antara si pemilik dan penghuni relatif minim, apalagi jika hunian tersebut ditempati lebih dari 20 orang. Tamu boleh saja masuk kamar, termasuk tamu lawan jenis, tanpa banyak dicurigai atau ditanyai oleh pihak pemilik. Untuk kos puteri misalnya, jika menerima tamu pria seringkali dibolehkan untuk menutup pintu kamar. Kos setengah bebas tersebar di seluruh kawasan pemukiman mahasiswa, tetapi jumlah masih lebih sedikit dibandingkan kos bebas.
Informasi Aborsi
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mencari informasi aborsi di Yogyakarta. Hanya saja, informasi tersebut sangat tertutup, tetapi bukan berarti tidak banyak yang mengetahui. Penulis mengaku cukup kesulitan untuk mengklarifikasi kebenaran fakta tersebut. Dikatakan informasinya bersifat tertutup, karena tidak semua orang akan memiliki akses atas informasi tersebut. Mereka yang mengetahui itu pun tidak akan mudah memberikan jawaban atau petunjuk mengenai lokasi praktik aborsi. Menurut perkiraan penulis, dari 10 orang terdapat setidanya terdapat 2 di antaranya yang mengetahui. Aborsi dianggap sebagai urusan wanita, sehingga mayoritas yang menguasai informasi tersebut adalah wanita. Mereka hanya akan memberikan petunjuk lokasi hanya kepada temannya yang dianggap membutuhkan. Jika tidak, mereka akan berpura-pura tidak tahu. Penulis memperkirakan, praktik aborsi tersebut dilakukan di sebuah klinik yang ditangani sendiri oleh tenaga medis yang lokasinya berada di kawasan pinggiran di Yogyakarta.
Tarif ‘Ayam Kampus’
Ayam kampus adalah julukan yang diberikan kepada kalangan mahasiswi yang menjual jasa seks kepada pihak lain. Tidak bisa dipungkiri suatu fakta apabila setiap kampus di Yogyakarta memiliki ayam kampus. Fenomena ayam kampus di Yogyakarta sesungguhnya sudah cukup lama. Kebanyakan di antaranya beroperasi secara terorganisir, yaitu melalui perantara. Tetapi akhir-akhir ini sudah mulai berkembang beroperasi secara individu (tanpa perantara). Mereka adalah kalangan yang sangat tertutup. Penampilan dalam keseharian akan menipu siapapun yang bertemu dengan mereka. Jika melalui perantara biasanya lebih sulit, karena kerjasama mereka cukup kompak. Mereka menggunakan bahasa sandi dalam bentuk telpon maupun SMS. Kebanyakan dari mereka memiliki motif yang berlatarbelakang ekonomi. Tetapi akhir-akhir ini motif mereka tidak sekedar faktor ekonomi, melainkan faktor terpenuhinya gaya hidup. Tarif mereka cukup beragam, rata-rata mulai dari Rp 800.000 per malam hingga di atas Rp 1.500.000 per malam, tergantung pelayanan, waktu, dan lokasi. Mereka pun bersedia dipanggil untuk menerima layanan short-time dengan tarif sekitar Rp 200.000 - Rp 400.000. Mereka yang beroperasi individu biasanya lebih murah dan relatif bisa dinegosiasikan.
Kawin Kontrak di Kalangan Mahasiswi
Dari pantauan penulis, keberadaan istri simpanan atau kawin kontrak di kalangan mahasiswi di Yogyakarta sudah ada sebelum tahun 2000. Penulis sendiri pertama kali mendengar kabar tersebut pada tahun 1994, tetapi penulis baru bertemu dengan salah satu pelakunya pada tahun 1999. Pelakunya kebanyakan berasal dari kalangan PTS, tetapi kabarnya pula ada yang berasal dari kalangan PTN. Mereka dijadikan istri simpanan dari kalangan pengusaha luar daerah atau daerah yang tidak berjauhan dari Yogyakarta. Para pengusaha tadi memberikan tempat berupa rumah yang lokasinya berjauhan dari pemukiman mahasiswa untuk ditempati oleh si mahasiswi. Fenomena kawin kontrak di kalangan mahasiswi di Yogyakarta belum banyak mendapatkan sorotan dan perhatian untuk dilakukan pengkajian ataupun reportase khusus, sehingga perkiraan populasinya masih sangat sulit untuk ditentukan.
Jogja Sex Party
Penulis tidak bisa menjamin kebenaran cerita tentang pesta seks di kalangan mahasiswa dan remaja di Yogyakarta. Ada 2 narasumber, tetapi karena begitu rapatnya informasi menyebabkan penulis kesulitan untuk bisa menelusuri kebenarannya. Salah satu narasumber bercerita pada tahun 1995, kemudian narasumber satunya bercerita di tahun 2004. Supaya tidak rancu, ada dua jenis pesta seks, yaitu pesta seks komunitas dan pesta seks non komunitas. Kesamaannya hanya terletak pada cara mereka yang memilih pihak lain yang cukup selektif dan memiliki kesamaan kesukaan. Keduanya pula sama-sama tertutup rapat. Pesta seks komunitas diikuti oleh pecinta seks, pria, wanita, gay, dan lesbian. Sementara untuk pesta seks non komunitas hanya pria dan wanita. Untuk yang komunitas memiliki tanda keanggotaan berupa tato dan gelang dengan ciri khusus. Mereka tidak hanya dari Yogyakarta, melainkan datang pula dari luar kota. Koordinator untuk yang komunitas biasanya berasal dari Jakarta atau Bandung. Dalam bentuk komunitas maupun non komunitas, keduanya sangat selektif memilih orang dan keanggotaannya sangat tertutup.
Menelusuri Penyebab Munculnya Fenomena Seks Pra Nikah
Penulis agaknya kurang yakin apabila kemunculan fenomena seks pra nikah di kalangan remaja dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan tentang seks. Jika saja mau jujur mengakui, fenomena tersebut muncul justru dikarenakan oleh masyarakat sendiri. Pada prinsipnya, hubungan seks pra nikah di kalangan mahasiswa terjadi tidak lain karena begitu banyak terdapat kesempatan. Penulis mengumpulkan beberapa catatan hasil studi mengenai kenakalan remaja dan fenomena seks pra nikah di Yogyakarta dari berbagai sumber. Berikut adalah ulasan mengenai penyebab munculnya fenomena seks pra nikah.
Lokasi Favorit Melakukan Hubungan Seks
Hasil studi yang dilakukan LSM Sahara (Bandung) pada tahun 2002 pernah menyebutkan apabila faktor penyebab dimungkinnnya terjadinya hubungan seks pra nikah adalah faktor lokasi. Hubungan intim membutuhkan lokasi yang bagi mereka memenuhi kriteria aman, mudah diakses, dan ongkos yang relatif terjangkau. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh LSCK di Yogyakarta tahun 2002 menyebutkan beberapa tempat favorit untuk melakukan hubungan seks adalah:
1. Kos dan pondokan Lain (termasuk kontrakan)
2. Penginapan, seperti losmen atau hotel
Sejak lama, kamar kos di Yogyakarta masih menjadi lokasi favorit yang dipilih untuk melakukan hubungan seks di kalangan mahasiswa. Sebagian besar pula dilakukan di kamar kos putera, karena pada umumnya kos putera lebih bebas ketimbang kos puteri. Untuk kos puteri biasanya hanya terdapat pada kos yang relatif bebas di mana tamu pria diperbolehkan masuk kamar.
Selain kos, lokasi lain yang seringpula dimanfaatkan untuk hubungan seks seperti kontrakan ataupun semacam asrama. Beberapa mahasiswa biasanya memilih untuk mengontrak rumah, ketimbang mengambil kos. Sekedar catatan, bahwa tidak semua asrama mahasiswa di Yogyakarta memiliki status yang jelas, yaitu status resmi dari pemerintah di daerah asal. Tidak sedikit di antaranya yang cukup bermasalah, seperti minim pengawasan lingkungan di sekitarnya.
Adapun untuk dipilihnya lokasi di penginapan biasanya karena alasan tidak memungkinkan dilakukan di kamar kos masing-masing. Ada pula alasan untuk memilih lokasi di penginapan sebagai variasi lokasi semata. Lokasi penginapan yang termasuk paling banyak dimanfaatkan oleh kalangan mahasiswa terletak di wilayah luar kota yang tidak terlalu jauh dari lokasi mereka tinggal atau menempuh perjalanan sekitar kurang dari 40 menit. Salah satunya adalah lokasi penginapan di Kaliurang yang terletak di dataran tinggi. Tarif sewa kamarnya pun relatif cukup terjangkau untuk kalangan mahasiswa.
Dengan Siapa Mereka Melakukan Hubungan Seks
Ini adalah salah satu dari pertanyaan ini diajukan dalam survei dan penelitian yang dilakukan oleh LSCK kepada respondennya dari kalangan mahasiswi. Sebagian besar respondennya mengaku lebih sering berhubungan intim dengan pacarnya. Begitu pula mereka yang mengaku dengan siapa pertama kali berhubungan intim. Kurang dari 5% di antaranya mengaku berhubungan intim tidak hanya dengan pacarnya atau berhubungan intim dengan siapa saja yang dikenal dan diinginkannya.
Fenomena kemunculan gay dan lesbian di kalangan mahasiswa/mahasiswi di Yogyakarta pun sebenarnya sudah lama ada, bahkan sebelum tahun 2000. Dari pantauan penulis pada pertengahan tahun 2008 lalu, mereka cenderung masih sangat tertutup, sekalipun telah mulai terbentuk komunitas-komunitas kecil. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Fakultas Psikologi UGM pada tahun 2004-2005 pernah menyebutkan apabila mereka adalah para pendatang yang berasal dari luar daerah. Sayangnya hasil penelitian yang sempat diseminarkan pada bulan Desember 2005 tersebut tidak menyebutkan jumlah sampel ataupun perkiraan populasinya. Tetapi hampir bisa dipastikan kelompok gay dan lesbian bisa ditemukan di hampir seluruh perguruan tinggi di Yogyakarta. Sikap mereka yang sangat tertutup tidak lain didorong oleh sikap kebanyakan masyarakat di sekitarnya yang menganggapnya sebagai perilaku menyimpang.
Faktor Teknologi
Kebanyakan mahasiswa yang berasal dari luar daerah akan diberikan fasilitas hiburan, seperti televisi, pemutar VCD/DVD, atau komputer. Melalui perangkat inilah mereka mengenal film porno atau film semi. Rental VCD/DVD pun bermunculan di tengah-tengah kawasan pemukiman mahasiswa. Tidak sedikit di antaranya yang menyediakan film porno/semi, sekalipun tidak dipajang secara terbuka. Di kalangan mahasiswa sendiri, peminatnya tidak hanya berasal dari kalangan pria, tetapi datang pula dari kalangan wanita. Pengelola rental nampaknya cukup paham dengan kebutuhan mereka, sehingga selalu mendatangkan film-film baru setiap bulannya. Menurut pengakuan dari salah satu pengelola rentah (percakapan pada tahun 2000), tingkat permintaan sewa keping VCD/DVD porno/semi sangat tinggi untuk setiap kepingnya. Mereka seringkali harus menggandakan hingga sebanyak 3 keping untuk setiap judul film. Beberapa mahasiswa sering pula menduplikasikan ke komputernya sendiri, agar bisa ditonton lain waktu bersama orang lain.
Fenomena lain yang sempat muncul di sekitar tahun 2000 adalah warnet. Kehadiran teknologi informasi turut membuka peluang memicu terjadinya hubungan seks pra nikah di Yogyakarta. Sempat bermunculan warnet dengan lokasi yang sangat tertutup, sehingga cukup sering dimanfaatkan oleh kalangan mahasiswa untuk tempat berhubungan intim. Beberapa warnet di Yogyakarta diketahui pula secara sengaja menyimpan koleksi klip maupun film porno yang bisa diakses oleh para pengunjungnya. Berdasarkan pengakuan dari pengelola warnet, mereka dari kalangan mahasiswa ini yang mengakses film/klip porno ternyata pula berasal dari kalangan wanita (mahasiswi). Hal ini bisa diketahui dengan mudah, karena lokasi film/klip tersebut bukan disimpan di hard disk, melainkan di server warnet, sehingga bisa dipantau siapa saja (nomor meja) yang mengaksesnya.
Minimnya Kepedulian Pemda Setempat
Kemunculan hubungan seks pra nikah di kalangan mahasiswa di Yogyakarta tidak terlepas pula dari peran pemda setempat (pemkab/pemkot). Kemunculan yang sudah sejak lama terjadi nampaknya tidak menjadi perhatian serius bagi pemkab maupun pemkot di Propinsi Yogyakarta. Mereka seolah terkesan menutup mata atas fenomena tersebut, selama tidak mengganggu sumber penerimaan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Beberapa kali pernah dilakukan operasi sweeping kamar kos, tetapi kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan rutin. Baru diketahui apabila sweeping tersebut hanyalah untuk menyapu aspek perijinan pondokan (kos/kontrakan/asrama). Berulangkali laporan dari warga masuk ke Dinas Trantib Pemkab maupun Pemkot, tetapi sangat jarang untuk ditindaklanjuti. Sampai penulis pernah mendengar suatu pameo, apabila pembiaran tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga Yogyakarta menjadi tujuan kedatangan calon mahasiswa/mahasiswi. Paska diberlakukannnya otonomi daerah, Yogyakarta harus bersaing dengan daerah lain di sekitarnya, seperti Solo, Semarang, atau Purwokerto yang mulai berkembang. Di kota-kota tadi pun kabarnya pemda setempat mengorbakan aspek moral demi menggenjot penerimaan PAD. Salah satu alasan para pendatang untuk memilih Yogyakarta, karena harus diakui berdasarkan pertimbangan kebebasan.
Minimnya Kepedulian Warga Setempat
Tidak semua lokasi atau kawasan pemukiman mahasiswa yang minim dengan pengawasan warga setempat, tetapi masih terdapat cukup banyak kawasan pemukiman yang relatif minim perhatian ataupun pengawasannya dari warga setempat. Waktu di siang hari merupakan waktu yang paling memungkinkan untuk dilakukannya hubungan seks di kamar kos. Selain berada di luar jam ketertiban lingkungan, waktu tersebut cukup leluasa di lokasi kos yang bebas ataupun setengah bebas. Warga setempat pun kurang peduli dengan kos-kos yang tidak ditunggu sendiri oleh pemiliknya. Berdasarkan pantauan penulis, cukup banyak lokasi pemukiman mahasiswa yang tidak memiliki portal yang membatasi jam keluar maupun masuk. Jika pun ada pengawasan dari aktivitas siskamling, mahasiswa biasanya membawa tamu wanita setelah bubarnya siskamling (sekitar pukul 02.30-03.00).
Jika ditanya soal peraturan, sesungguhnya peraturan sudah lama ada, tetapi jarang diterapkan dengan konsisten. Misalnya saja, sebelum tahun 2000 masih banyak dijumpai papan yang bertuliskan jam belajar. Tetapi akhir-akhir ini tulisan tersebut semakin jarang ditemui. Ketentuan jam tamu itu pun sebenarnya telah diatur di masing-masing kampung dan dilindungi oleh perda setempat. Tetapi masih banyak wilayah pemukiman yang terlihat kurang peduli dengan tata tertib tersebut. Tidak mengherankan apabila penelitian yang dilakukan oleh LSCK di tahun 2002 menyebutkan lokasi paling sering dipilih untuk melakukan hubungan seks adalah kamar kos.