Sangat tidak relevan apabila atas sejumlah permasalahan di ibukota kemudian dibebankan kepada Gubernur DKI Jakarta beserta perangkatnya. Sangat tidak masuk akal pula apabila terdapat kontestan yang menjanjikan apabila dirinya mampu mengatasi masalah ibukota. Sutiyoso atau mungkin Fauzi Bowo (inkumben) mungkin telah melakukan banyak hal, tetapi bukan berarti telah memberikan solusi yang sesungguhnya. Permasalahan ibukota merupakan refleksi dari permasalahan nasional yang penyelesaiannya tidak bisa hanya sekedar melibatkan seorang gubernur maupun segala perangkat yang dimilikinya.
Jika dirasakan permasalahan ibukota perlu untuk diselesaikan, maka membutuhkan komitmen yang luas dari berbagai pihak, termasuk RI-1. Atas kekusutan masalah di ibukota, tahun lalu sempat diusulkan wacana untuk memindahkan ibukota. Tetapi wacana tersebut nampaknya lebih terlihat sebagai bentuk sikap yang frustasi atas segala kebuntuan penyelesaian masalah. Beberapa gubernur sebelumnya pernah beberapa kali melakukan upaya untuk mengurangi masalah kemacetan, tetapi tidak sedikit dari upaya tersebut yang mendapatkan pertentangan oleh warga Jakarta sendiri. Wacana untuk membatasi kendaraan bermotor pun pernah pula diusulkan, tetapi wacana tersebut langsung dimentahkan oleh kalangan masyarakat sendiri.
Masalah transportasi massal memang masih menjadi isu sentral yang semakin rumit. Persoalannya tidak semata bersumber dari pemda DKI sendiri, melainkan dari warga ibukota pula. Pengadaan sarana transportasi massal oleh pihak pemda bukanlah perkara yang sederhana, karena di dalamnya akan melibatkan tarik-menarik kepentingan dengan berbagai pihak, seperti DPRD, Dephub, atau pemerintah pusat. Sementara masih berlangsung proses negosiasi, angka pertumbuhan kendaraan terus melaju. Di sisi lain, pemerintah pusat dengan bangganya mempresentasikan prestasi pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor. Tidak urung pula beberapa menteri kabinet mengklaim indikator kemacetan sebagai cermin kemajuan perekonomian. Lagipula, sebagian masyarakat di ibukota untuk menggunakan transportasi pribadi lebih banyak berdasarkan atas pertimbangan ekonomis.
Dalam kurun waktu yang tinggal beberapa hari lagi, rasanya tidak mungkin jika merekomendasikan untuk merubah sistem demokrasi pada Pemilukada DKI Jakarta 2012. Konsekuensi terburuk dari demokrasi akan selalu ada. Tetapi perlu dipahami pula apabila seringkali obat yang mujarab merupakan sesuatu yang tidak diinginkan. Pada akhirnya, pemilukada dan sesudahnya akan kembali kepada kepentingan politik dari masing-masing parpol pendukung maupun pengusaha. Rakyat pun akhirnya harus berjuang menghadapi masalahnya sendiri, karena pemilukada telah berlalu dan dilupakan. Jika menghendaki perubahan nyata, itu berarti membutuhkan komitmen akan kebersamaan dan solidaritas dari seluruh pihak yang berkepentingan dengan ibukota, termasuk mereka yang tinggal di luar ibukota. Sesuatu yang hampir tidak mungkin, tetapi itu semua berpulang kepada warga ibukota sendiri atau siapapun yang berkepentingan dengan ibukota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H