Mohon tunggu...
Leny Mindarintia
Leny Mindarintia Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Fakultas Pendidikan dan Ilmu Keguruan Universitas Kristen Petra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru, Cintailah Aku

7 April 2019   02:52 Diperbarui: 7 April 2019   03:45 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era disrupsi ini guru memiliki peran yang penting dalam perkembangan anak. Metode mengajar yang kuno seperti ceramah di depan kelas tidak membawa dampak yang besar bagi seorang anak. Terlebih ketika anak dinilai tidak mampu dalam bidang akademik kemudian guru malah menganggap anak tersebut bodoh.

Peran guru bukan saja sebagai penyalur materi tetapi juga sebagai seorang pendidik. Pendidik artinya mengamati sekaligus merangsang perkembangan anak didiknya. Sehingga tidak ada lagi guru yang seenaknya menghakimi muridnya tanpa mengetahui apa latar belakangnya.

Perkembangan anak dibagi menjadi tiga aspek yaitu perkembangan secara fisik, kognitif dan sosial. Ketiga aspek ini dapat berjalan tidak seimbang karena adanya berbagai faktor. Guru juga wajib tahu bahwa setiap perkembangan anak itu tidak sama. Mereka memiliki tangga perkembangannya sendiri. Mari kita melihat ketiga aspek perkembangan dari kasus Frank (nama samaran) berikut ini.

Frank adalah seorang murid kelas enam yang unik. Ia sangat suka berkelahi di sekolah. Mirisnya, ia bahkan pernah berkelahi dengan salah seorang gurunya. Frank berada di kelas yang dicap sebagai kelas 'terbodoh' di sekolahnya. Karena kelas tersebut berisi kumpulan anak yang tidak lulus ujian nasional. Emosi Frank juga sangat tidak stabil. Namun secara fisik, ia terlihat normal seperti anak kelas 6 pada umumnya. Ia juga seorang pelukis gravity yang handal.

Dari kasus ini kita dapat melihat bahwa perkembangan fisik Frank berjalan dengan baik. Anak berusia 6 tahun sudah mampu mengkoordinasikan otot dan keseimbangannya dengan baik. Ia dapat menendang dan menangkap bola, melompat, mengendarai sepeda roda dua, menulis seperti orang dewasa, dan menggambar dengan lebih teliti (Beghetto, 2016, as cited in Primasanti, 2018, p. 29).

Namun berbanding terbalik dengan perkembangan kognitifnya. Frank tidak lulus ujian nasional karena ia kesulitan dalam hal matematika. Ia sulit memahami simbol. Padahal menurut Piaget, anak usia enam tahun sudah dapat mempresentasikan objek dengan simbol atau kata-kata (Winarto, Joko., 2011, www.kompasiana.com).

Hal yang paling menonjol adalah perkembangan sosialnya. Sangat jelas terlihat bahwa Frank tidak berkembang dengan baik dalam hal sosialnya. Ia menjadi anak yang liar dan suka berkelahi. Sebenarnya hal ini terjadi karena Frank berasal dari latar belakang keluarga yang kelam.

Ia tinggal bersama ayah asuh, seorang pemabuk yang kejam. Ayahnya sering memukuli dan mengatainya anak tidak berguna. Karena menurut ayahnya, Frank tidak pandai dalam hal akademik tetapi hanya pandai mencoret-coret tembok (gravity).

Perkembangan sosial anak tidak lepas dari kondisi lingkungan yang ada di sekitar anak. Sekalipun kelak waktu dewasa seorang anak tidak hidup di lingkungan yang sama, namun pengaruh yang sudah ia dapatkan tidak akan hilang begitu saja. Kebanyakan anak akan meniru apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya (Sujanto, Lubis, & Hadi, 1997).

Menurut Erikson, Frank sedang berada pada masa initative vs guilt (inisiatif vs merasa bersalah). "Jika pada masa ini orang tua selalu memberikan hukuman untuk dorongan inisiatif anak, akibatnya anak dapat selalu merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk mengambil tindakan" (Retno, 2017, www.dosenpsikologi.com).

Frank sebenarnya hanya butuh cinta dan pengertian. Karena ayah asuhnya tidak dapat memberikan hal tersebut, oleh karena itu ia mengisi kekosongan hatinya dengan berkelahi. Sebagai seorang guru, kita tidak boleh sepenuhnya menyalahkan Frank atas perilakunya.

Latar belakang Frank memang tidak dapat diubah, tetapi sebagai seorang guru, guru dapat mengarahkan Frank untuk meraih masa depan yang cerah. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan seorang guru yang benar untuk menghadapi anak seperti Frank di sekolah.

Pertama, cintai anak didik. Frank tidak mendapat cinta dari sosok dewasa yang ia sebut ayah. Keadaan tidak dicintai inilah yang sering kali membuat Frank merasa tidak aman. Ia terus dipukul dan dikata-katai oleh ayahnya. Sehingga, Frank membuat pertahanan diri dengan cara berkelahi supaya tidak ada orang yang dapat memukuli dan menghinanya di sekolah.

Sebagai guru, yang dapat dilakukan adalah menyatakan kasihnya secara nyata pada murid. Ungkapkan kalimat-kalimat seperti, "Kamu berharga dan saya mengasihimu." Selain kalimat, guru juga dapat menunjukkan melalui tindakan seperti tidak memarahinya karena nilai matematikanya jelek. Nilai matematika yang jelek tidak merubah gambar diri seorang anak didik. Ia tetaplah anak yang berharga.

Kedua, luangkan waktu. Anak seperti Frank pasti tidak pernah punya tempat untuk berkeluh kesah. Guru dapat meluangkan waktunya untuk bermain dan berdiskusi dengannya sepulang sekolah. Tujuannya supaya seorang guru dapat merebut hatinya, sehingga ia mau terbuka dan bercerita tentang masalahnya. Pada tahap ini seorang guru harus belajar banyak tentang psikologi dan konseling supaya tidak melakukan banyak kesalahan.

Ketiga, mendukung bakat apa pun yang dimiliki murid. Setiap murid pasti memiliki bakat yang berbeda-beda. Sebagai seorang guru tidak benar jika menyamaratakan bakat muridnya. Bakat tidak harus berupa hal yang dapat dinilai. Sering kali murid yang memiliki bakat akademis dilihat lebih baik dari pada murid yang memiliki bakat lain.

Guru harus mengenal dan dapat menemukan bakat masing-masing muridnya. Caranya guru dapat menggunakan banyak metode mengajar yang bervariasi, bukan hanya ceramah di depan kelas. Setelah guru menemukan bakat muridnya hal selanjutnya adalah mendukungnya.

Berikan pujian yang spesifik dan jelas seperti gambarmu bagus karena kamu pintar menggradasikan warna, kamu pintar menyanyi karena kamu lihai mengatur vibramu, dan kamu pintar IPA karena penelitianmu selesai tepat waktu.

Mari jadi guru yang benar di era disrupsi yang sulit. Menjadi guru yang mencintai muridnya jauh lebih dibutuhkan murid dari pada guru yang hanya menyampaikan materi. Mencintai murid bukan berati kehilangan wibawa guru.

Mencintai murid berarti tidak menilai murid dari apa yang tampak saja, tidak melabel murid dan menjadi figure yang memberikan rasa aman. Mencintai murid berarti memahami perkembangan fisik, kognitif dan sosial murid satu per satu. Maka dapat disimpulkan bahwa guru adalah pemegang peranan penting bagi perkembangan anak.

Daftar Pustaka

Beghetto, R.A. (2010). Nurturing creativity in the classroom. New York. NY: Cambridge.

Winarto, J., (2011). Teori perkembangan kognitif jean piaget dan implementasinya dalam pendidikan. Retieved from http://www.kompasiana.com/jokowinarto/550094a28133115318fa799e/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan?page=all

Retno, D., (2017). Teori psikososial eric erikson dan perkembangannya. Retrieved from http://www.google.com/amp/s/dosenpsikologi.com/teori-psikososial-erikson/amp

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun