Sebelum berangkat aku sempat berpapasan dengan Irene, tapi ia tidak mengatakan apapun saat kami bertemu. Dia hanya tersenyum ramah dan berlalu menuju kamar mandi kost. Hatiku semakin resah dibuatnya.
       Andre kembali berkutat dengan ponsel miliknya. Senyum itu kembali terbit di sudut bibirnya. Aku benci senyum Andre seperti itu, dia seperti seorang pria yang tengah jatuh cinta.
       "Lagi chatan sama siapa sih? Kayaknya asyik sampai tersenyum sendiri," godaku saat itu.
       "Chatan dengan Irene," jawabnya enteng tanpa melihatku.
       Detak jantungku seolah berhenti saat itu. Ada rasa nyeri tepat di hatiku. Berbagai pernyataan terbesit sesudahnya. Begitu mudah kalimat menyakitkan keluar dari mulut itu. Tidakkah berpikir aku akan tersakiti? Tidakkah merasa bersalah setelah menjawab itu?
       "Bagaimana bisa ka...." ucapanku terpotong oleh suara yang begitu kukenal.
       "Hay Andre, Acha," sapa Irene begitu ramah.
       Wanita yang kusebut sahabat waktu itu langsung mengambil tempat duduk disebelah Andre. Hatiku semakin sakit melihat mereka saling bertukar senyum ramah. Lebih tepatnya senyum seseorang yang sedang jatuh cinta. Mereka menatapku dengan senyum kikuk. Paling aneh adalah Irene, ia tidak biasanya bersikap canggung seperti ini. Rasanya seperti ada rahasia yang akan mereka ungkapkan malam itu. Detak jantungku memompa dua kali lebih cepat. Aku paling takut menghadapi situasi macam ini. Di tatap dengan senyum penuh arti.
       "Maafin aku, Cha," ucap Andre dengan senyum tipis. Irene masih terdiam seolah memberikan celah Andre untuk menjelaskan.
       "Maaf untuk apa, Ndre?" tanyaku bingung. Jangan mengatakan hal-hal yang membuatku hancur batinku saat itu.
       "Kita bisa memilih menjalin komitmen dengan siapapun, tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa akan jatuh cinta dan menyimpan rasa," Andre menjeda ucapannya.