Mohon tunggu...
Leny Idris
Leny Idris Mohon Tunggu... -

dan Tuhan telah membeli jiwa-jiwa kita dengan surganya. maka tujuan dari tujuan kehidupan adalah ridhonya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Gagap Itu Translater

27 April 2014   20:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:08 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aljabar atau yang sekarang di sebut Matematika adalah pelajaran paling serem dalam hidup sebagian besar siswa. Bukan hanya itu, momok lain yang sudah mengantri adalah bahasa Inggris yangpara siswa selalu berharap sang guru tak pernah datang.

Elsa menghela napas panjang setelah pelajaran Monster Matematika itu hilang dari hadapannya, ini adalah kali pertama dalam sekolah barunya pelajaran monster itu berlangsung. Ya dia murid pindahan dari sekolah Katolik, setelah kenaikan kelas 1 Elsa pindah bersama paman dan bibinya serta 3 anak mereka ke daerah Trawas, Mojokerto. Berpindah pada sekolah swasta yang di sana agama di tekankan pada murid-murid.

Siang itu udara sedikit membuat gerah, sekolah itu menggunakan AC alami alias fentilasi berkusen biru dalam tembok yang di cat putih agak ke biru-biruan. Semakin pelajaran matematika berlangsung semakin tak tertahan saja mata mengedipkan kelopaknya dalam detik yang panjang ditambah lehernya yang agak sakit terkilir karena bantal. Pilihan terakhir adalah menaruh kepala yang makin berat dengan mata yang tak bisa berkompromi itu pada sebuah meja yang tingginya pas untuk menaruhnya. Berselancar mendamaikan diri kurang dari 10 menit.

Teriakan demi teriakan dari sang guru untuk membangunkannya tak dihiraukan, hingga pak guru yang hobi main musik itu membentaknya.

“Elsa...bangun”,

sontak mimpi indah terputus karenanya.

“Kenapa kamu tidur? Maju” telunjuk sang guru mengarah pada papan berwarna putih.

“Iya pak itu soalnya...” matanya tetap sipit

“Maju cepat!”

Suasana kelas mendadak hening hingga bambu-bambu yang berada di samping sekolahpun terdengar seperti menertawakannya, semilir angin yang mengalun berdesis-desis di tengah bambu-bambu meriuhkan kalbunya bagaimana tidak dia murid baru, pindahan dari katolik tertidur di kelas. Elsa mencari tempat terdekat untuk sekolahnya dulu, sehingga katoliklah yang menjadi tempat pertama merasakan OSPEK SMA, karena beberapa saudara dari kakeknya nasrani dan hanya kakeknya saja mulim dari beberapa saudaranya.

Bayangkan betapa malunya dia dengan mengangkat satu kaki dan membawa vas bunga di tanggan, dilihatlah teman laki-lakinya yang tersenyum ditengah suasana yang agak memanas itu.

“Jangan pernah kamu duduk sebelum ada yang menggantikan kamu”

“Em,,,”Elsa ingin bertanya

”Lihat temanmu yang mengantuk, sebut namanya keras-keras. Dan kamu bebas untuk duduk. Selama belum ada silahkan kamu berdiri hingga pelajaran berlangsung” pak Eko dengan mata melotot di balik kacamata bundar dengan gagang emas.

“Baik, pak.” jawab Elsa. “Dua jam men” hatinya menggerutu,

Pelajaran berlajut sepuluh menit, belum ada yang membuka mulut tanda menguap, dua puluh menit mata mereka seperti tak mau berkedib alias nggak ada yang ngantuk. Setengah jam,

”Owh kakiku!”

Ditiup-tiupnya vas bunga itu berharap ada mantra yang keluar dan menidurkan sebagian orang. “Bodoh, mana mungkin. Aku bukan penyihir. Haha.” Hatinya bergumam.

Lima menit setelah itu,

“Pak, anak yang pojok depan itu mengantuk”

“Siapa?”

“Yang itu, yang botak. Maaf saya belum tahu namanya”

“Iwan maju kedepan”

“Sorry” Elsa membuka mulutnya pelan, huft elsa langsung menyandarkan badannya yang kecil dalam kursi dari plastik berwarnah merah.

Ani teman satu bangkunya hanya tersenyum dan dibalasnya dengan nyengir ala Elsa. Pak Eko masih melihatnya dari meja guru, Elsa mencorat-coret buku agar terlihat serius. Terbesit dalam benaknya, sebuah iklan lomba pidato bahasa Inggris yang bisa diikuti oleh anak kelas satu-tiga. Wow!

Dan bahasa Inggris tidak lebih menakutkan dari pada matematika, maid setnya berubah setelah melihat tetangga barunya menjadi translater atau guide di salah satu perusahaan jasa di Trawas dan saudara kakenya menjadi manager di perusahaan minuman bersoda di Pandaan yang sering bolak-balik ke luar negri. Perlahan dia tertarik belajar bahasa Inggris, dimulai dari kursus pada tetangganya hingga kursus pada lembaga bahasa inggris bernama NSC (New Surabaya College) yang sekarang berubah menjadi PEC (Pandaan Education Center), awalnya sang kakek melarang karena jarak tempuh yang lumayan jauh, di sore hari dengan ketiadaan biaya dan di tempat dimana perjalanan itu bajing loncat biasanya mangkal.

Tapi seiring berjalannya waktu, dan kemudahan datang menghampiri. Impiannya untuk bisa kursus di tempat itu tercapai. Disana tempat umum dan tentulah bercampur banyak agama, dari yang mulai Islam sepertinya, katolik hingga Hindu.

“Kamu kristiani ya?”

tanya Rizal temannya di intermediate 1 diakhir kursus.

“What?”

“Are you Cristian?”

dia mengulangi kalimatnya kembali.

“Enggak, aku muslim” jawab Elsa setengah tertohok.

Ya dia memang tak memakai kerudung apalagi jilbab seperti muslimah, karena krudung di pakainya ketika masuk sekolah baru setelah pulang di lepas lagi. Oh God!. Shalatpun di lakukannya di tengah jadwal kursus, dia meminta izin pada pak Adi selaku wali kursusnya, karena disana memang banyak kelas-kelas. Otomatis saja teman-temannya nggak tahu.

Satu bulan yang memalukan dari kejadian tidur di kelas terlewatkan, naluri eksistensinya di depan publik keluar, tentulah dia tak inggin dianggap gadis bodoh karena tak bisa Matematika. Mendaftar menjadi salah satu peserta pidato bahasa inggris adalah impian jangka pendeknya.

“Paman 3 hari lagi Elsa ada pidato bahasa Inggris di sekolah baru, mohon doanya” biasalah dia itu manja sekali pada pamannya.

“Iya, PCP adalah tempat rekreasi yang menunggumu ketika kamu menang”

“Janji?” terlihat seperti anak kecil sekali

“Pasti”.

Elsa belum lancar, text yang sudah tertuangpun kini lecek dan sedikit lembab di tangan kanannya. Peserta ke-tiga dari 6 kelas 12 siswa. Pilihannya adalah memajukan diri dan menang, atau malu karena belepotan atau-nya lagi menjadi pecundang sebelum berperang. Pidato bertema Narkoba itu membawa tepukan riuh, dari hampir 150-an siswa. Menambah rasa pede dalam diri Elsa hingga keputusan juara dua itu di dapatkannya. Baginya itu kebanggaan tersendiri, Elsa rasa dia menang bukan karena pidatonya tapi karena tepukan riuh yang bertebaran masuk ke dalam telinga juri. Bukan juga 100% karena dia kursus karena kursus itu hanya membantu baginya selebihnya Elsa yang melakukan.

PCP (Padepokan Cahaya Putra) sebuah resort keluarga yang sering dikunjungi Elsa dan keluarga. Pertama masuk di sambut gerbang yang tinggi, tanaman-tanaman hijau dan rumput mahal di sekeliling, sebuah bukit yang menjulang yang ada di balik resort seakan dekat sekali. Ruang-ruang meeting dan penginapan tak begitu membuat elsa dan anak-anak pamannya tertarik meski mewah. Tapi tiga buah kolam renang yang masing-masing berbeda ukuran dari anak-anak hingga orang dewasa yang memiliki air sanggat biru segar karena ubinnyan terbuat dari tekel berwarna putih dan memiliki pinggiran warna merah itu menggoda selerannya agar segera menceburkan diri setelah perjalanan agak sedikit melelahkan dengan sebuah mobil carry berwarna hijau tanpa AC.

Resort ini tak begitu ramai jika dilihat dari kolam renang, mungkin juga karena penggunjung banyak yang tak renang hari itu sehingga hanya ada beberapa orang di dalam kolam renang dewasa dan beberawa wanita dengan anak-anak mereka yang memakai pelampung bebek. Anak-anak paman mahir dalam renang, tapi tidak dengan Elsa hingga paman yang mengajarinya, sementara bibi masih mempersiapkan perbekalan mereka. Bibi sangat anti sekali dengan makanan siap saji, bukan karena bibi pelit justru untuk menjaga kesehatan toh kalau di hitung-hitung lebih mahal makanan masak sendiri, dari segi uang, tenaga dan waktu. Tapi memang dia istri idaman. Wow!

Bibipun meminta paman membantunyasebentar, setelah itu memanggil Elsa dan anak-anaknya “Elsa sini dulu dhek” celetuknya,dengan baju basah dan pinggiran kolam yang agak sedikit licin Elsa berlari menghampiri bibi yang berada dalam naungan payung berwarna hijau tua dengan banyak makanan.

Srett,,, byur, tiba- tiba terdengan seperti orang yang baru memasuki kolam itu dan Elsa-lah orangnya. Dia kepleset ubin di sebelah kolam renang, pinggiran ubin itu menghantam dagunya hingga pecah, meminum sebagian air yang tercampur kaporit dan sulit berenang sudah tentu bagian dari atraksi yang tak terduga itu. Pamanpun langsung menolongnya, sementara Elsa sudah kenyang dengan air bercampur kaporit. Dagunya yang seperti bibir kedua mengerikan sekali, bibi langsung menyuruh Elsa dan paman berganti baju, sementara bibi bersiap-siap pulang. Tiga anaknyapun tak sempat ganti baju, dan terpaksa berganti di mobil.

Mengunjungi klinik adalah agenda penutupan rekreasi kali ini, tidak ada acara naik kuda, makan jagung ataupun menginap.Dagu Elsa harus di jahit. Owh! Miris rasanya jika ingat kejadian itu. Bekas jahitan itupun masih tersisa di dagunya hingga sekarang dan hanya bisa di lihat jika Elsa mendongakkan kepala ke atas.

Waktu menunjukkan 6 bulan lagi Elsa menyelesaikan SMA yang tak dapat di lupakan sepanjang hidupnya. Tentulah karena teman-teman yang sangat menyuportnya, dari yang pendiam hingga yang amat sangat tidak bisa diam. Pernah juga di lihatnya seorang teman kelasnya sebut saja Ares, cewek ini begitu alim menurutnya. Yang paling lucu dan mengherankan, kenapa ketika ada praktik di sawah dia tak melepas kaos kakinya.

“Res, copot dulu kaos kakimu. Udah tahu kotor.”

Ares hanya keep smile,seragamnya juga aneh menurut Elsa 2 potong atas bawah yang tersambung seperti jubah ketika di pelototi dan di singkap sedikit bagian baju bawahnya. Perlahan setelah acara selesai dia menjelaskan panjang lebar, salah satunya seorang muslimah nggak boleh kelihatan kakinya karena itu bagian dari aurat. Elsa hanya mengangguk-angguk saja, masih di catatnya dulu 5:30 kode dalam quran tentang masalah tersebut.

Kini gadis itu kuliah di salah satu Universitas Swasta setelah tertolak di Universitas negri, dulu dia berharap bisa mengambil jurusan Biologi atau Bahasa Inggris tapi sayang saja nasipnya belum beruntung kali itu dan ada teman-teman yang sempat tes dengannya mendapat nasip baik hingga mereka diterima di negri. Paman mencoba menyemangatinya

“Meski di swasta jika sering membaca, bejalar dan tekunjuga bisa mengungguli anak-anak negri bahkan yang sekolah di luar negri sekalipun.”

“Iya paman, sambil mata berkunang-kunang karena airmata yang tertahan keluar.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun