Ngomong-ngomong tentang keresahan, terutama keresahan berkarya, saya teringat tulisan Umar Kayam dalam buku Dialog yang memuat kumpulan artikel korannya, kurun waktu 1969 sampai 1999. Dalam salah satu tulisan berjudul Di Tengah-tengah Kita: Kitsch (Kitsch? Kitsch? Ayolah!), Harian Kompas 30 Juli 1969, Umar Kayam mengangkat pertunjukan Wayang orang yang saat itu menjadi konsumsi eksklusif keluarga kerajaan, mulai dipertontonkan kepada khalayak ramai.
Dalam tulisannya Umar Kayam mengungkapkan kegelisahan para seniman terhadap munculnya seni komersil yang “terkesan” menghilangkan esensi seni.
Kemunculan ”Kitsch” di Kompasiana juga ternyata meresahkan beberapa kalangan. Terutama mereka yang teguh dan konsisten menulis dan menikmati karya sastra “Tulen” dengan berbagai standar, kaidah dan aturan mainnya.
Sebagai orang yang baru mengenal sastra, saya tidak bermaksud membahas secara serius persoalan ini. Namun sebagai seorang kompasianer (belum sejati) saya ingin berbagi opini, dan tanggapan berdasarkan apa yang saya tahu, baca dan dengar.
Munculnya keresahan di situs citizen Kompasiana adalah buah dari ‘kenakalan’ dan ‘kegenitan’ tangan-tangan pecinta tuts keyboard untuk membuat sastra 'nyeleneh' (i). 'Nyeleneh', karena beberapa terma sastra – yang tak begitu jelas bagi saya kebakuannya – bermunculan. Diantara terma itu yang paling berkesan bagi saya adalah Fiksi Mini, dan atau Flash Fiction (FF). Kegenitan kompasianer ini sampai pada titik klimaksanya saat istilah FF100K atau FF50K bergulir, dimana cerita fiksi dibuat dengan target 100 kata atau bahkan 50 kata.
Ternyata ini bukan sekedar tindakan perorangan, lambat laun kenakalan ini menjadi terorganisir. Tengok saja event Malam Prosa Kolaborasi (MPK), Fiksi Surat Cinta (FSC), dan Festival Puisi Kolaborasi (FPK) yang belum lama berlangsung. Hasilnya, luar biasa, lebih dari dua ratus pasang peserta mengikuti ajang nakal itu (termasuk saya).
Pada titik ini bukan hanya kritik yang muncul, tapi lebih hebat lagi, keresahan dan kekhawatiran. Keresahan akan hilangnya ‘kesakralan’ sastra, bahwa sastra akan kehilangan esensinya sebab tak lagi melalui proses kontemplasi yang melelahkan.
Entah apakah keresahan ini sesuatu yang wajar. Serupa keresahan pengukir batik terhadap batik cetak, atau serupa keresahan para senior yang melihat mahasiswa baru masuk universitas tanpa proses Ospek, atau seperti apa saya kurang paham.
Lagi-lagi “wajar” merupakan penilaian yang sangat subjektif. Saya sendiri memaklumi keresahan para pengukir batik tulis, dan keresahan mahasiswa senior yang khawatir akan kualitas karbitan mahasiswa baru.
Saya begitu tersentak mengetahui bahwa John Philip Sousa, seorang komposer besar zaman baheula tak mau musiknya direkam. Musik baginya adalah maha karya yang tak dapat di kurung dalam pita rekaman dan bisa diputar semaunya kapan saja dimana saja oleh pemilik rekaman. Baginya musik adalah kesatuan audio dan visual, interaksi antar pemain, dan interaksi pemain dan penonton. Apakah keresahan Sousa sama dengan keresahan beberapa kompasianer…?
Jika dikatakan kenakalan dan kegenitan penulis kompasianer perlu diresahkan. Dengan pengetahuanku saat ini, saya malah menikmatinya. Perkenalan saya dengan kompasiana malah terjalin dari karya 'Fiksi Nyeleneh' mas Ramdhani Nur, seorang fiksianer yang hingga saat ini masih saya kagumi.
Sebagian karya lain malah hanya menjadi ajang silaturahmi antar penulis. Dan bagi saya tidak menjadi masalah, malah lebih seru dan member warna tersendiri dalam kanal fiksi ini. Bukankah esensi dari tulisan adalah menjalin komunikasi, dan kompasianer telah menunjukkan cara unik mereka dalam berkomunikasi lewat karya.
Tengok saja kolaborasi Konyol dari beberapa kompasianer di SINI
Jika sebelumnya sastra merekam sekumpulan konflik hidup dengan perenungan dan "jalan sunyi" yang panjang, maka jalan singkat kompasianer juga saya kira perlu dihargai. Menurut saya ini proses kreatifitas baru yang juga tidak mudah. Bagaimana mereka menangkap potongan adegan kehidupan sehari-hari untuk menjadi bahan renungan yang dibalut sastra "seadanya".
Karya Nyeleneh kompasianer belakangan ini saya maknai lebih kepada kesenangan menulis, dan keinginan untuk membumikan budaya tulis. Saya pun berkesimpulan bahwa semangat yang sama juga terdapat pada kalimat: Membuat Film Gampang-Gampang Susah, Ayo Belajar Design, Asyiknya Membuat Peta Tiga Dimensi dan kalimat penyemangat lain yang kini bertebaran dimana-mana.
Keeksklusifan sesuatu memang menjadi pertaruhannya.
Dan saya lebih setuju dengan Umar Kayam sekitar empat puluh tahun lalu dalam tulisannya tentang Kitsch. Fenomena Kitsch seperti ini tidak bisa dihindari, katanya, yang mesti dilakukan adalah mencoba berdamai dan mencari titik imbangnya.
Sebagaimana film pendek dan film konvensional memiliki ruang masing-masing. Warung mi instan yang simpel dan Bakso yang agak rumit pun bisa bersanding harmoni di berbagai simpang jalan di kota kecilku.
*(i) maaf pengertian nyeleneh saya disini lebih pada tulisan yang menyimpang dari hal-hal yang 'baku'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H