Mohon tunggu...
valentinus gurnadur
valentinus gurnadur Mohon Tunggu... Mahasiswa - yuk nulis

saya orang pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Relasi dan Diri Sendiri

24 Februari 2023   08:11 Diperbarui: 24 Februari 2023   08:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Toxic Relationship adalah fenomena baru dalam sebuah hubungan personal masyarakat, seperti hubungan asmara, pertemanan, pekerjaan. Meski terdengar asing di telinga beberapa orang khususnya golongan tua. Sebenarnya bentuk dari relasi ini bukanlah relasi yang benar-benar baru lahir. 

Toxic Relationship adalah bentuk sebuah hubungan yang tidak sehat atau membawa efek negatif. Toxic yang dalam bahasa inggris berarti racun atau beracun, menjadi lambang bentuk hubungan yang tidak sehat tersebut. Contohnya dalam sebuah hubungan sering terjadi pertengkaran dan selalu merasa tak nyaman dapat dikatakan bahwa hubungan tersebut tergolong Toxic Relationship. Sebenarnya banyak sekali indikasi mengapa sebuah hubungan dapat tergolong dalam bentuk hubungan yang toxic. 

Bentuk hubungan yang semacam ini dapat dikaitkan dengan fenomena meningkatnya remaja Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Penelitian yang dilakukan oleh The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa 2,45 juta remaja Indonesia didiagnosa mengalami gangguan jiwa selama 12 bulan terakhir. 

Selain itu juga ditemukan bahwa 15,5 juta remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang biasa. Bentuk hubungan atau relasi yang tidak sehat dapat menyebabkan orang mengalami gangguan kesehatan mental.

Gangguan jiwa yang paling banyak dialami oleh remaja adalah gangguan kecemasan seperti fobia sosial, gangguan kecemasan umum, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stress pasca trauma (PTSD), dan gangguan defisit perhatian (ADHD). Pandemi memang menjadi salah satu penyebab dari fenomena ini. Akan tetapi keadaan lingkungan remaja terutama lingkungan pergaulan yang menjurus ke relasi juga tak dapat dipandang sebelah mata. 

Bentuk gangguan seperti fobia sosial lebih dari cukup untuk menjadi tanda peringatan mengenai apa yang terjadi di relasi seorang remaja. Munculnya fenomena toxic relationship meyakinkan bahwa relasi semacam itu dapat menjadi salah satu penyebab meningkatnya penderita gangguan kesehatan jiwa pada remaja. Pasalnya gangguan kejiwaan seperti phobia sosial pastinya terjadi akibat faktor eksternal. 

Dan faktor eksternal tersebut didapatkan dari relasi mereka dengan orang lain. Pastinya mereka mengalami sebuah trauma yang membuat mereka takut untuk berkontak sosial atau masuk dalam kehidupan sosial seperti semula. Biasanya perilaku-perilaku yang membuat mereka traum terjadi secara perlahan.

Satu hal yang menjadi masalah besar atas fenomena toxic relationship adalah korban atau orang yang sedang dalam hubungan ini seringkali tidak sadar, bahwa mereka sedang terjebak di sebuah hubungan yang tidak sehat. 

Hal ini menjadi masalah yang cukup sulit diatasi, meskipun sudah banyak laman-laman internet, video, atau ahli yang memberikan tanda-tanda sebuah hubungan teracuni. Seringkali kita merasa abai dengan hal kecil karena merasa malu, tidak enak, tidak tega sampai lupa dengan keadaan dirinya sendiri. Orang yang demikian disebut orang yang berempati.

Empati sendiri adalah merasakan apa yang dirasakan orang lain, berasal dari bahasa Jerman Einfhlung yang artinya merasakan. Memang empati adalah hal yang baik, tetapi apapun yang berlebihan itu tidak baik. Konsep oikeisis menjelaskan bahwa empati dan afinitas pada orang lain menurun berdasarkan kedekatanya dengan diri kita. 

Empati digambarkan seperti sebuah lingkaran cincin, di bagian inti adalah diri kita selanjutnya keluarga dan bagian terluar adalah orang asing. Menurut Paul Bloom akan menjadi masalah ketika ada orang jahat yang berusaha mempengaruhi lingkaran simpati kita untuk mempengaruhi perilaku dan keyakinan kita. Perasaan empati kita dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan antipasti dalam diri kita terhadap orang lain. 

Jika demikian kita rentan terjerumus ke dalam toxic relationship dan parahnya kita tidak sadar. Fenomena ini disebut dengan gaslighting. Manipulasi emosional atau gaslighting adalah bentuk penyiksaan mental dalam sebuah hubungan. Gaslighting ini adalah salah satu bentuk toxic relationship. 

Dampaknya korban akan mulai kehilangan kepercayaan diri dan selalu bergantung pada teman atau pasangannya. Padahal menjadi independen adalah hal penting bagi seseorang terutama remaja. Dan lebih parahnya dapat menyebabkan korban trauma dengan kehidupan sosial atau fobia sosial, jika korban sadar dan tak dapat menghadapi kenyataan.

Kita harus jeli dalam membedakan antara empati dengan kasih sayang. Kasih sayang tak akan membawa kita ke dalam kehancuran. Meski kasih dalam bahasa Yunani adalah agape  yang artinya kasih yang berani mengorbankan diri bagi orang lain, pengorbanan harus diberi batas. 

Agape adalah bentuk kasih yang positif. Kita hidup di dalam dunia yang penuh aturan dan norma. Bertindak sewajarnya adalah pilihan tindakkan yang paling tepat, ini bukan berarti kita menghalangi empati kita. Untuk menjadi orang yang penyayang bukan berarti kita harus selalu mentoleransi tindakkan orang lain terhadap kita.

Ada banyak cara menghindari atau bebas dari toxic relationship. Hal yang pertama dan sangat penting yaitu sadari dan rasakan apakah dirimu berada di dalam relasi semacam itu. Ini bukan berarti menganjurkan untuk selalu overthinking. Seharusnya kita paham apakah selama ini kita nyaman dengan relasi-relasi yang kita lakukan selama ini. 

Cukup sadari dan alangkah lebih baiknya jika kita mau mengkomunikasikannya. Memang untuk berkomunikasi terkadang butuh keberanian dan waktu yang tepat. Akan tetapi mengkomunikasikan perasaan kepada teman atau pasangan akan menjadi hal yang sangat berharga. 

Ini adalah cara jitu untuk menyelesaikan masalah dalam sebuah relasi. Komunikasi membuat semua hal menjadi transparan, sehingga meningkatkan kepercayaan satu sama lain. Selanjutnya adalah berani untuk bilang tidak atau cukup. Memang memutuskan adalah hal yang sulit di dalam kehidupan tetapi mau tidak mau kita harus melakukannya. Memang akan selalu ada konsekuensi dalam setiap pilihan kita. 

Meski demikian, akan lebih baik jika kita terbebas dari hal yang merugikan kita. Hati yang merdeka akan terasa lebih membahagiakan. Bahagia dalam hidup itu hal yang nomor satu. Meskipun kita hidup dengan orang lain dan tentunya kita juga tidak dapat bertindak seenaknya. Perasaan merdeka bukan berarti kita harus menjauh terhadap mereka para pelaku toxic relationship. Menghindar dan memutus hubungan bukan sebuah penyelesaian yang baik. Menjaga sikap dan menyesuaikan cara bertindak kita. Menjadi lebih sadar bagaimana membawa diri dalam pergaulan dan memiliki prinsip.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun