Sejak saat itu, bumi tempat Pras berpijak seolah melesak. Langit di atas kepalanya seolah runtuh. Antara sedih, khawatir, perasaan berdosa, semua bercampur jadi satu. Semua pikiran buruk tentang gadis itu terus berkecamuk. Baru bisa ia bayangkan, penderitaan seperti apa yang sudah ia tinggalkan. Bisa ia bayangkan, betapa terpuruk dan tidak berdayanya gadis itu menanggung semua beban dari dosa yang ia tinggalkan.
Dan sekarang, saat binar itu kembali terang, mungkinkah dirinya dimaafkan. Prasti, gadis kecil itu, mungkinkah dia adalah satu jejak dari dosa yang pernah ia tinggalkan?
"Astaghfirullah!"
Meski sudah terlambat, tentu dengan senang hati Pras bersedia untuk menebusnya? Namun, apakah wanita itu bersedia memaafkan? Mungkinkah ia masih mau membukakan hati untuknya, dengan kunci yang sudah ia patahkan?
Melihat kenyataan sekarang, bagaimana kalau ia sudah bahagia dengan orang lain? Dan Prasti ... apa gadis kecil itu betul-betul miliknya?
Kalau diperhatikan dengan seksama, gadis kecil itu sama sekali tidak mirip dengan Laras. Mungkinkah dia bukan anaknya? Atau ... mungkinkah gadis lucu itu lebih mirip ayahnya? Konon, anak perempuan memang lebih banyak menyerap gen ayah. Eh, kalau dilihat-lihat lagi dengan seksama, wajah itu sangat familier. Sepertinya Pras pertama bertemu, tetapi ia lupa.
"Astaghfirullah!"
Pras berpikir, seperti inikah silat pikiran dari sang pendosa seperti dirinya. Beribu alibi selalu saja tersedia untuk membenarkan ambisinya. Padahal, semua itu menunjukkan, betapa pengecutnya dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H