Ribuan, bahkan jutaan kali kalimat thayyibah itu terucap, tetapi hingga kini rasa berdosa itu tidak mau sirna. Bahkan, satu kata maaf pun tidak bisa ia ucapkan pada wanita itu sekarang.
Jangankan satu kata maaf, untuk bertemu pun, saat ini Pras belum memiliki keberanian. Ini sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan selama bertahun-tahun dalam penantian. Bahkan, ia sendiri tidak percaya, betapa pengecutnya dirinya saat ini.
Sejak peristiwa itu, berbagai dugaan sudah muncul di benak Pras. Bagaimana kalau benihnya tumbuh di rahim mungil gadisnya? Sungguh, ia tidak pernah bermaksud menyakitinya. Ia tidak pernah bermaksud untuk meninggalkannya. Keadaanlah yang memaksanya bersikap seperti itu dulu.
"Pras, ayahmu terkena serangan jantung dan sedang koma sekarang."
Begitu mendapat kabar itu, Pras langsung terbang ke Australia, bahkan saking paniknya, ia tidak sempat berpamitan pada Laras. Ia tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya itu adalah awal perpisahan panjang mereka.
"Tinggalah di sini, Pras, Ibu sudah mendaftarkanmu di UNSV," kata ibunya.
"Tapi, Bu, Pras sudah ...."
"Pras, lihatlah keadaan ayahmu seperti apa. Ibu tidak sanggup mengurusnya seorang diri. Perusahaan juga membutuhkan tenagamu. Kamu sendiri tahu, persaingan di dunia bisnis seperti apa. Ibu tidak bisa menangani keduanya seorang diri," potong ibunya.
Saat itu, Pras hanya bisa menghela napas. Ia tidak punya pilihan. Sungguh, tidak ada maksud untuk mengorbankan Laras. Memang saat itu ia lebih fokus mengurus keluarganya, tetapi ia juga tidak ingin mengabaikan gadis itu.
Namun, mungkin saking fokusnya, sampai-sampai selama beberapa waktu, Pras belum kepikiran untuk menghubungi Laras sama sekali.
Beberapa bulan, ketika kondisi keluarganya sudah cukup stabil, ia bermaksud menghubungi Laras, tetapi rupanya sudah terlambat. Gadis itu sudah hilang tanpa jejak sedikit pun, seolah lenyap ditelan bumi.