"Umiiii ... Tunggu Prasti!"
Teriakan bocah berpipi gembul itu membangunkan pikiran sadar Pras. Lelaki itu tersentak. Untungnya, pebisnis muda yang sukses itu memiliki pengendalian diri yang sangat kuat sekarang. Kalau tidak, mungkin ia sudah berlari memeluk wanita cantik dan anggun yang berada beberapa meter di depannya itu.
Tiba-tiba Pras merasa malu. Malu pada dirinya sendiri, malu pada kata hijrah yang dengan bangga pernah ia sandang, malu pada gamis dan kerudung lebar wanita yang ada di depannya, juga malu pada Tuhannya.
Pras merasa seperti linglung seketika. Dia yang sudah bersiap untuk terbang di atas awan, tiba-tiba dihempaskan angin topan dengan keras, hingga jatuh terjerembab tanpa daya.
Umi? Dia uminya? Dan Prasti, gadis kecil itu ... anaknya? Milik siapa? Miliknyakah, atau milik orang lain yang kini sedang berbahagia dengannya?
Namun, pikiran lain kembali menyeruak. Apakah Laras memang sudah bahagia sekarang? Adakah lelaki baik yang dengan rela menerima gadis itu apa adanya setelah segelnya dirusak olehnya?
Andai gadis itu sudah bahagia, Pras pasti akan merelakan? Namun, bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana?
"Astaghfirullah!"
Pras menjerit, tetapi jeritan itu tertelan kembali, membuat tenggorokannya tercekat, seolah menelan sekarung pasir kwarsa.
Tiba-tiba peristiwa lucnut itu kembali terekam. Gambaran biru film itu kembali berputar di benaknya, membuat lelaki itu semakin merasa bersalah.
"Astaghfirullah!"