Mohon tunggu...
Lentera Pustaka
Lentera Pustaka Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Literasi dan Taman Bacaan

Pegiat literasi yang peduli terhadap gerakan literasi dan pendidikan anak di Indonesia. Hanya untuk berbuat baik dan menebar manfaat melalui buku-buku bacaan, salam literasi

Selanjutnya

Tutup

Seni

Jangan Memaksa Pikiran Salah Walau Lahir dari Otak Sendiri

17 Juli 2024   08:42 Diperbarui: 17 Juli 2024   08:59 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kopi Lentera

Saat ngopi bareng di Kopi Lentera, seorang pekerja berkata pada saya, "Pak, saya sepertinya ingin pindah ke kampung. Selain menetap di sana, saya ingin buka warung kecil-kecilan. Saya yakin masa depan bisa lebih baik bila tinggal kampung daripada di Jakarta. Bagaimana menurut Bapak?"

"Terus bila sudah pindah kempung dan buka warung, apakah kamu yakin nasib kamu pasti menjadi lebih baik?" tanya saya sederhana.

"Saya sih yakin pasti lebih baik Pak," jawabnya. 

"Siapa yang mengharuskan kamu pindah k  kampung? Dan apakah kalau sudah buka warung di kampung, masa depan kamu pasti lebih baik?" tanya saya lagi.

"Saya di Jakarta kerja dari dulu sampai sekarang begini-begini aja. Tetap susah dan sulit cari tambahan. Apalagi kebutuhan anak semakin meningkat. Mungkin lebih baik hidup di kampung kayaknya," jawabnya.

"Bagaimana kalau kamu berhenti bekerja. Lalu memulai kerjaan baru, misalnya jadi driver mobil online yang mungkin kamu sukai?" tanya saya lagi.

"Wahh, sepertinya tidak mungkin Pak. Kerja di kantor aja berat, apalagi jadi driver online," jawabnya agak kaget.

"Loh, siapa yang bilang tidak mungkin? Daripada kamu memaksakan diri berkarier di bidang yang tidak suka, mengapa tidak banting setir dan mencoba sesuatu yang baru dan benar-benar kamu sukai?" tanya saya sambil mengisap sebatang rokok. Ia pun diam beberapa saat untuk berpikir dan mencerna ucapan saya.

"Coba deh dicek. Apakah keinginan kamu pindah ke kampung benar-benar untuk membangun masa depan yang lebih baik atau hanya pelarian dari kondisi kamu saat ini?" tanya saya lagi. 

Ia masih tetap diam. Matanya pun mulai berair. Saya paham, di dalam dirinya sedang berlangsung proses kontemplasi diri yang hebat. Batinnya berkecamuk. Saya pun tidak mau mengganggu proses batinnya. Saya biarkan beberapa saat baru kemudian saya melanjutkan bicara. 

Saya sekadar memberi masukan untuknya. Bahwa pentingnya merencanakan masa depan secara holistik. Untuk keseimbangan hidup. Banyak orang lupa, masa depan dan ketenangan hidup itu bukan diukur dari satu aspek yaitu karier saja. Jangan mengukur hidup dari pekerjaan atau uang semata. 

Apalagi popularitas semata. Perlu juga memikirkan aspek lain misalnya spiritual, sosial, pengembangan diri, relasi, materi, dan wisata. Kita hidup itu disuruh seimbang, lahir batin. Dunia akhirat dan fisik mental, sama pentingnya. Merencanakan masa depan itu berarti menata diri untuk membuat peta hidup kita. Tahu dari mana berasal dan mau ke mana hendak pergi? Bukan sekedar pelarian dari kondisi yang tidak menyenangkan. 

Mungkin hari ini, banyak orang pikirannya terlalu instan dan subjektif. Buru-buru berprasangka buruk pada keadaan, kurang bisa menerima realitas. Masalah dilihat sebagai "batas", bukan saran untuk melatih diri. Untuk lebih sabar, lebih strong dan mencari solusi kreatif. Padahal, berpikir holistik itu penting. Biar kita tahu berbagai perspektif dalam hidup. Setelah itu, barulah mencari cara atau strategi apa untuk menjadikan keadaan lebih baik.

Kembali pada si pekerja yang ngopi bareng saya ini. Dari ceritanya saya menyimpulkan bahwa pekerja ini sebenarnya suka berdinamika dan punya aktivitas yang menantang. Sampai memutuskan mau pindah ke kampung dan buka warung. Hanya saja mungkin di pekerjaannya sekarang, ia kurang menikmati kariernya. Ia justru merasakan beban yang cukup berat setiap kali berangkat kerja. Apalagi suasana di tempat kerjanya juga kurang kondusif. 

Maka saya menyarankan, ia menetapkan dan menuliskan dulu syarat pekerjaan atau karier ideal yang ingin ia jalani. Setelah itu, barulah ia menilai apakah bidang pekerjaan atau kariernya sekarang ini sudah benar-benar memenuhi syarat. Bila tidak, ia perlu memulai satu pekerjaan baru. Atau memperbaiki sisi sosial, relasi, pengembangan diri dan sebagainya. Jangan hanya berpikir ingin "lari" meninggalkan pekerjaan yang telah menghidupinya selama ini.

Terkadang hari ini, banyak orang mempersilakan pikiran buruknya mengalir. Tanpa diimbangi pikiran yang baik. Cepat stres dan gampang frustrasi. Ditambah suka membandingkan hidupnya dengan orang lain. Harusnya, mulai saja dari melatih pikiran dan prasangka baik. Lalu, kerjakan yang bisa dilakukan dengan senang hati. 

Jaga keseimbangan hidup, lahir dan batin. Sehingga apapun yang dilakukan, pasti sesuai passion. Senang dan sepenuh hati melakukan apapun. Seperti itulah yang saya jaga saat bekerja sebagai dosen, direktur eksekutif dan konsultan yang sifatnya "dapat uang" dan berkiprah di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor yang sifatnya "buang uang". Buatlah seimbang yang dicari dan yang diberi. Seimbang dan seimbang itu kata kuncinya.

Katanya, hidup ini tujuannya ingin bahagia. Tapi cara berpikir dan perbuatannya justru dekat dengan tidak bahagia. Bagaimana bisa begitu? Bahagia itu bukan sesuatu yang kita minta atau mohonkan. Bahagia adalah sesuatu yang perlu direncanakan, dikerjakan, dan diraih secara sadar dan sepenuh hati 

Jadi, jangan terlalu memaksa pikiran salah walau lahir dari otak kita sendiri. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun