Mohon tunggu...
Lentera Pustaka
Lentera Pustaka Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Literasi dan Taman Bacaan

Pegiat literasi yang peduli terhadap gerakan literasi dan pendidikan anak di Indonesia. Hanya untuk berbuat baik dan menebar manfaat melalui buku-buku bacaan, salam literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Rasa Tertitipi di Kopi Lentera

4 Juni 2024   08:31 Diperbarui: 4 Juni 2024   09:01 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ngopi sambil baca buku di Kopi Lentera di kaki Gunung Salak Bogor, salah seorang kawan bercerita tentang kondisi dirinya yang harus melepaskan aset-aset yang telah dimilikinya. Bekerja keras dan mengumpulakn aset bertahun-tahun, hilang begitu saja akibat satu dua masalah yang menerpanya. Ia menceritakan betapa berat rasanya, jatuh bangun hingga harus melepas apa-apa yang sudah didapatnya. Kini, apa yang sudah diperjuangkannya kembali ke titik nol.

Dari obrolan di Kopi Lenter itu, berkembang panjang lebar sampai akhirnya mengerucut pada kesimpulan terpenting. Apa sih yang membuat berat dalam hidup ini? Jawabannya hanya satu, karena terlalu bertumpu pada perasaan memiliki. Merasa apa-apa yang sudah kita punya adalah 'milik' kita. Hati dan pikiran melekat pada rasa memiliki.

Dan ternyata, apapun di dunia ini tidak ada yang benar-benar ditakdirkan untuk dimiliki. Tidak ada yang saling memiliki, semua hanya saling dititipi. Kita harus sadar, bahwa kita hanya dititipi. Maka rasa tertitipi itulah yang harus menggantikan ras memiliki.

Sesungguhnya, bertahun-tahun kita bekerja pada akhirnya hanya dititipi harta dan kekayaan. Bertahun-tahun pula kita dititipi kemampuan dan kepiawaian untuk bisa meraih apa yang kita inginkan. Pendidikan, pangkat, jabatan, harta, adan anak-anak pun semuanya hanya titipan. Maka, semua yang hari ini dianggap kita miliki sejatinya hanyalah titipan semata.

Apapun dalihnya, kita harus terus bersyukur. Atas semua titipan yang diberikan-Nya. Tidak ada yang kita miliki. Tidak ada yang hilang, karean semua pergi dan kembali kepada pemiliknya. Kita hanya diberikan kesempatan untuk berbuat dan kesempatan dititipi. Rasa tertitipi, jika kita benar-benar bisa menghayati rasa tertitipi maka semua akan menjadi ringan.. Terserah pada 'Yang Memiliki', apapun dan bagaimanapun sudah kehenda-Nya.

Ada kalanya mungkin, tabungan atau uang yang sudah kita kumpulkan bertahun-tahun harus keluar atau terpaksa keluar. Semua yang mendekat tiba-tiba menjauh. Semua yang ada menjadi tiada. Semua terjadi tentu dengan cara-cara-Nya. Hari ini banyak orang belahar dan tahu cara-cara berjuang untuk memiliki. Tapi sayang, di saat yang sama, mereka tidak tahu cara-cara untuk menyerahkan dengan baik. Seraya berterima kasih atas kesempatan yang telah diberikan. Karena selama ini, kita hanya tertitipi atau dititipi. Bukan malah menahan-nahannya dengan perasaan tidak menerima di saat memang harus benar-benar menyerahkan segalanya.

Hidup siapapun, pasti berjalan pada koridor-Nya. Untuk menjalani episode hidup secara bergiliran. Ada saat mendapatkan ada saat melepaskan. Ada saat mencari, ada saat memberi. Karena sejatinya, tidak ada orang miskin atau kaya. Yang ada hanyalah hamba Allah yang dititipi rejeki yang berbeda sebagai bekal ibadah. Maka semua yang dilakukan harusnya menjadi amal soleh, menjadi jalan untuk semakin dekat dengan-Nya dan dicintai-Nya.

Sudah saatnya, untuk membebaskan hati dari rasa ingin memiliki. Karena semua hanya titipan.. Yang paling penting justru menjadi "orang yang pantas untuk dititipi". Sungguh, di dunia ini tidak ada yang benar-benar ditakdirkan untuk saling memiliki, semua hanya saling dititipi.

Begitulah Pelajaran sederhana saat ngopi sambil membaca buku di Kopi Lentera, di TBM Lentera Pustaka. Bahwa semuanya hanya titipan. Salam literasi #KopiLentera #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun