Globalisasi dengan ditambah kemajuan teknologi informasi, seharusnya tidak menggerus tatanan masyarakat yang penuh toleransi di negeri ini. Seharusnya justru memperkuat dan meningkat, karena masyarakat semakin mudah mengakses informasi tentang berbagai  kondisi saudara-saudaranya di belahan lain, yang tentu tidak sama dan beragam, tapi penuh warna.Â
Kenyataannya, globalisasi hanyalah kata tanpa makna, sebab kemajuan teknologi hanya digunakan untuk dan oleh sekelompok orang, yang sulit membuka diri, secanggih apapun gadget di tangannya.Â
Kelompok demi kelompok yang tadinya kecil-kecil menjadi besar, meskipun namanya tidak sesuai lagi dengan niatannya. Besar dalam ketegori kuantitas, bukan kualitas, sebab pembicaraan lebih mengedepankan 'aku' dan 'kami' daripada 'kita'. Jika tidak sama, maka 'kamu' pun dijauhkan, atau dengan sadar diri menjauh.Â
Pemeluk Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia, Â memang layaknya menjadi pemimpin. Tapi pemimpin yang bagaimana yang sesungguhnya diinginkan? Maka kecerdasan berdemokrasi pun dipertaruhkan. Â Gesekan-gesekan pun terjadi karena gosokan-gosokan. Nalar dan Nurani tak lagi memiliki posisi penting. Yang ada hanya emosi negatif dan ego sentris.Â
Jika dalam tiga sistem kerja otak, terdapat pusat emosi negatif yang letaknya di bagian belakang bawah dan pusat nalar berada di atas depan, sedangkan pusat kasih sayang ada di bagian dalam tengah, maka tentu sangat tipis kemungkinan emosi negatif akan bekerjasama dengan nalar.
Pusat kasih sayang pun tak tersentuh. Ini menjadi hal yang tidak mungkin menyebutkan sebagai kecerdasan berdemokrasi berjalan seiring dengan egosentris yang memandang kelompok lain sebagai perbedaan yang harus dilawan. Â Logika berfikir menjadi jauh dari jangkauan.
Bangkitnya umat Islam di Indonesia ditandai dengan bermunculannya cendikiawan-cendikiawan, mahasiswa-mahasiswa, bahkan artis-artis muslim yang tentu semuanya berebut tempat di negeri ini. Sebagian memanfaatkan kecerdasan dengan menggeluti dunia teknologi, sebagian bergelut dalam system politik, dan lainnya mencari eksistensi melalui upaya berjihad dengan caranya sendiri. Â Dan bayangkan ketika mereka bekerja sama.Â
Bukan tidak mungkin, cita-cita demokrasi makin hari makin menjadi 'buah bibir' saja. Ia hanya ada di dalam orasi politik, tidak pada kenyataan. Dan tindakan pun menjadi anarkis baik perseorangan maupun kelompok.
Anarkis, yang saya rasakan menyesakkan pandangan tentang bangkitnya Islam di Indonesia. Islam yang bagi saya adalah Rahmatan Lil Alamin, menjadi menakutkan. Meskipun dari kecil saya tumbuh dalam keluarga yang Islami dengan latar belakang ajaran Nahdhatul Ulama yang amat kuat. NU yang sering dilihat sebagai kelompok sesat oleh kelompok islam lainnya.Â
Dengan penglihatan mereka yang hanya dapat membacanya kata perkata, bukan kalimat dalam paragraf yang utuh dan sarat makna. Saya ikut membela agama saya, jika memang dilecehkan. Dan saya membela agama lain yang juga memang dilecehkan.Â
Hidup di Bali dengan toleransi yang amat tinggi, membuat saya tidak dapat menerima tindakan anarkis sekecil apapun, apalagi dalam skala besar. Saya merasakan bagaimana terpuruknya ekonomi di Bali pasca bom Bali pertama, dan ikut mengalami bangkitnya perekonomian di Bali, sebagai dampak dari sikap toleransi ini.Â
Sejatinya, ini menjadi pembelajaran di mana pun, sebelum melakukan tindakan yang merusak tatanan masyarakat. Pelecehan-pelecehan dengan kata-kata tabu dan tak senonoh yang keluar dari mulut-mulut para agamis terhadap kaumnya sendiri, hanya karena berbeda haluan, tentu ini menyakitkan hati dan memalukan diri sendiri. Â Dan kemudian saya belajar lagi, kepada keluarga Presiden Jokowi untuk bisa mengendalikan diri.
Presiden Jokowi yang rendah hati dan penyayang serta penuh kesabaran, pekerja yang tidak tahan hanya duduk di belakang meja atau berlama-lama pergi keliling dunia, tentu saya yakin memahami kondisi masyarakatnya itu. Beliau pasti cerdas dalam psikologi massa, bukan hanya cerdas demokrasinya. Â
Meski pelecehan demi pelecehan harus diterimanya sekian macam rupa dalam sehari, ia hanya menanggapi dengan senyum dan itu sudah berlaku sejak masa pemilu pertamanya menjadi presiden.Â
Jadi baginya, untuk kali ini tentu "biasa saja". Ia tetap konsisten, ambisinya untuk jabatan, tak pernah hadir di hatinya. Niatnya hanya ingin masyarakat belajar agar cerdas dalam berdemokrasi. Itu sebabnya ia tak pernah ragu dalam melangkah, ia tidak pernah takut untuk jatuh. Pak  Jokowi bukan nabi, bukan manusia sempurna.Â
Tentu suatu saat ada ambang batas kesabaran yang harus dilaluinya. Apalagi jika ia harus memilih antara keselamatan keluarga dan karir politik. Ia pasti akan mendahulukan keluarganya.
Tapi, orang-orang di sekitarnya, mampukah memahami itu? Bisakah bersikap seperti dirinya? Kepentingan demi kepentingan elit partai entah itu yang bernuansa agamis, pancasilais, demokrastis maupun oportunis, tentu tidak ingin mempertaruhkan harga dirinya, sebab mereka bukan sendiri, seperti pak Jokowi.Â
Kalaupun mau menentukan sikap untuk tidak sepakat dengan pendapat bersama, berarti harus keluar dan hijrah ke kelompok yang lain. Jadi kutu loncat, begitu kira-kira. Dan pada akhirnya, kecerdasan berdemokrasi di negeri ini semakin tak jelas, meskipun dunia terlanjur mengacungkan jempol.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI