Mohon tunggu...
lentera di bukit jimbaran
lentera di bukit jimbaran Mohon Tunggu... profesional -

lahir di jakarta, tumbuh, malang melintang dalam kehidupan metropolis jakarta dengan segala hiruk pikuknya dan ketika orde baru tumbang lalu hijrah ke Bali, sampai sekarang. senang menulis apa saja, mengolah kata-kata menjadi kalimat-kalimat dan paragraf, selain untuk ungkapkan rasa dan pikir, juga dalam rangka karsa-nya sebagai lentera, berbagi terang yang menghangatkan kepada sekitar. saat ini masih tetap berproses menjadi \\\"manusia yang adaptable, understanding, dan rahmat bagi alam semesta\\\".

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Antara Kebangkitan Islam dan Kecerdasan Berdemokrasi di Indonesia

20 April 2019   09:22 Diperbarui: 20 April 2019   09:54 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sejatinya, ini menjadi pembelajaran di mana pun, sebelum melakukan tindakan yang merusak tatanan masyarakat. Pelecehan-pelecehan dengan kata-kata tabu dan tak senonoh yang keluar dari mulut-mulut para agamis terhadap kaumnya sendiri, hanya karena berbeda haluan, tentu ini menyakitkan hati dan memalukan diri sendiri.  Dan kemudian saya belajar lagi, kepada keluarga Presiden Jokowi untuk bisa mengendalikan diri.

Presiden Jokowi yang rendah hati dan penyayang serta penuh kesabaran, pekerja yang tidak tahan hanya duduk di belakang meja atau berlama-lama pergi keliling dunia, tentu saya yakin memahami kondisi masyarakatnya itu. Beliau pasti cerdas dalam psikologi massa, bukan hanya cerdas demokrasinya.  

Meski pelecehan demi pelecehan harus diterimanya sekian macam rupa dalam sehari, ia hanya menanggapi dengan senyum dan itu sudah berlaku sejak masa pemilu pertamanya menjadi presiden. 

Jadi baginya, untuk kali ini tentu "biasa saja". Ia tetap konsisten, ambisinya untuk jabatan, tak pernah hadir di hatinya. Niatnya hanya ingin masyarakat belajar agar cerdas dalam berdemokrasi. Itu sebabnya ia tak pernah ragu dalam melangkah, ia tidak pernah takut untuk jatuh. Pak  Jokowi bukan nabi, bukan manusia sempurna. 

Tentu suatu saat ada ambang batas kesabaran yang harus dilaluinya. Apalagi jika ia harus memilih antara keselamatan keluarga dan karir politik. Ia pasti akan mendahulukan keluarganya.

Tapi, orang-orang di sekitarnya, mampukah memahami itu? Bisakah bersikap seperti dirinya? Kepentingan demi kepentingan elit partai entah itu yang bernuansa agamis, pancasilais, demokrastis maupun oportunis, tentu tidak ingin mempertaruhkan harga dirinya, sebab mereka bukan sendiri, seperti pak Jokowi. 

Kalaupun mau menentukan sikap untuk tidak sepakat dengan pendapat bersama, berarti harus keluar dan hijrah ke kelompok yang lain. Jadi kutu loncat, begitu kira-kira. Dan pada akhirnya, kecerdasan berdemokrasi di negeri ini semakin tak jelas, meskipun dunia terlanjur mengacungkan jempol.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun