Pagi yang tenang di kabupaten Kertasari, Kabupaten Bandung, berubah menjadi kekacauan ketika gempa mengguncang daerah tersebut pada 18 September 2023. Dalam beberapa detik, kehidupan penduduk setempat terguncang, tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik yang terlihat pada mata, tetapi juga luka psikologis yang tidak terlihat oleh mata tetapi sama berbahayanya. Di tengah puing-puing dan ketidakpastian, sebuah inisiatif dari Program Studi BimbinganKonseling Islam muncul sebagai secercah harapan bagi para korban yang masih berjuang dengan trauma pascabencana.
Menanggapi situasi darurat ini, Program Studi Bimbingan Konseling Islam dengan cepat memobilisasi 150 siswa. Para kandidat konsultan muda ini tidak hanya membawa pengetahuan teoritis yang mereka pelajari di perguruan tinggi, tetapi juga semangat dan empati yang merupakan modal utama dalam misi kemanusiaan ini. Selama dua hari yang intens, dari 28 September hingga 29 September, mereka menyebar ke enam posko yang tersebar di tiga RW di Kecamatan Kertasari, bertekad untuk membawa perubahan positif di tengah-tengah situasi yang menarik.
Tantangan yang dihadapi oleh tim siswa ini tidak kecil. Mereka harus beradaptasi dengan cepat, menangani kenyataan di lapangan yang sangat berbeda dari simulasi kelas. Kondisi infrastruktur yang rusak, sumber daya yang terbatas dan trauma mendalam yang dialami oleh para korban menjadi ujian nyata terhadap kemampuan dan daya tahan mental mereka. Namun, semangat untuk membantu dan tekad untuk belajar menjadi bahan bakar yang terus mendorong mereka untuk memberikan yang terbaik dari diri mereka sendiri.
Layanan yang disediakan oleh tim siswa ini dirancang dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus dari dua kelompok yang dianggap paling rentan: ibu dan anak-anak. Untuk para ibu, yang sering menjadi pilar kekuatan dalam keluarga tetapi juga membawa beban psikologis yang berat, tim menerapkan metode terapeutik EMDR (Desensitisasi dan Pemrosesan Ulang Gerakan Mata). Teknik ini, yang melibatkan gerakan mata dan stimulasi bilateral, telah terbukti efektif dalam membantu melepaskan emosi negatif dan menghilangkan stres akut yang dialami setelah trauma.
Sementara itu, pendekatan yang berbeda diadopsi untuk anak-anak. Menyadari bahwa anak-anak sering mengalami kesulitan mengekspresikan perasaan mereka secara verbal, tim siswa mengundang mereka untuk bermain dan merancang kegiatan. Melalui kegiatan kreatif ini, anak-anak diberi ruang yang aman untuk mengekspresikan ketakutan, kecemasan, dan harapan mereka. Pendekatan ini tidak hanya membantu dalam proses penyembuhan trauma, tetapi juga memberikan momen kegembiraan yang sangat dibutuhkan di tengah-tengah situasi stres.
Salah satu mahasiswa, yang untuk pertama kalinya membenamkan dirinya secara langsung dalam pengelolaan trauma pascabencana, membagikan pengalamannya yang menggugah: "Kita tidak semudah membayangkan apa yang kita pelajari di kelas. Ternyata kita juga harus pergi ke lapangan untuk melatih keterampilan lintas bidang yang perlu kita miliki, dimulai dengan komunikasi, menemukan topik untuk dibicarakan, bagaimana kita dapat mengundang konseli atau korban untuk bercerita, bagaimana membuat konseli mempercayai kita sehingga mereka dapat bercerita, dan sebagainya." Refleksi ini menyoroti pentingnya pengalaman praktis dalam pelatihan konselor yang kompeten dan empati.
Hasil dari program ini telah mulai menunjukkan tanda-tanda positif yang menggembirakan. Banyak anak yang sebelumnya menunjukkan gejala trauma seperti takut memasuki gedung sekolah, perlahan mulai menunjukkan kesiapan untuk kembali belajar. Ini adalah langkah besar dalam proses pemulihan, mengingat bahwa pendidikan adalah salah satu aspek penting untuk memulihkan rasa normal setelah bencana. Para ibu juga terlihat ada  penurunan yang signifikan dalam gejala stres pasca-trauma, dengan banyak dari mereka mengklaim lebih mampu mengatasi tantangan sehari-hari dan memberikan dukungan emosional kepada keluarga mereka.
Namun, perjalanan pemulihan ini tidak dapat lepas dari tantangan. Tim siswa menemukan bahwa mereka perlu terus beradaptasi, mengadaptasi metode yang telah mereka pelajari dengan kenyataan yang sering tidak terduga di lapangan. Waktu dan sumber daya yang terbatas juga merupakan hambatan, yang membutuhkan kreativitas dan fleksibilitas dalam pelaksanaan program. Namun, tantangan-tantangan ini sebenarnya adalah pelajaran yang berharga, mempersiapkan para konselor potensial ini untuk menghadapi kompleksitas dunia nyata dalam profesi mereka di masa depan.