Mohon tunggu...
Leni Jasmine
Leni Jasmine Mohon Tunggu... -

Penikmat Seni

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Phoniex

15 Juli 2017   19:54 Diperbarui: 15 Juli 2017   20:12 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menangis sesegukan seorang perempuan dihadapanku, lirih dia berucap,"Dalam sebuah keluarga, jangan pernah membanding2kan satu sama lain, karena yg dianggap paling lemah akan tertanam jiwa ambisius yg tinggi yg tak mudah diredam dan itu sangat menyiksa." Lalu aku usap pundaknya dengan chi Karuna untuk melepas segala beban didalamnya, pandangan matanya menerawang tajam, antara tekad, kebencian, dendam, sakit menjadi satu, aku merasakan ada kekuatan Triangle tail bone chi yg liar dan ganas, bulu kudukku meremang, aku berusaha untuk tenang lalu kuusap shumsuma masih menggunakan karuna, pandangannya mulai meredup, ada tetes air disudut matanya, lalu kubisikan pelan "kau berhasil meredam kekuatan itu." Ia menatap wajahku nanar, aku tersenyum mengangguk, meyakinkan batinnya yg nyaris padam. Kuusap wajahnya dengan tanganku dengan ibu jari sedikit menekan ajna nya, "tidurlah, istirahatkan sebentar saja, energimu sudah sangat terkuras untuk melepas agni yg terlalu besar.

Perempuan itu tertidur membawa sisa kegetiran batinnya, aku pasangkan musik meditasi dengan alunan suara mengalun lembut dan gemericik air, dan tidak lupa aku juga hidupkan wewangian aroma therapy dan seluruh ruangan pun menebar harum yang menenangkan jiwa.  15 menit kemudian iapun terbangun, kelihatan lebih baik meski luka itu masih terlihat jelas, aku suguhkan green tea hangat padanya, dan akupun siap mendengarkannya lagi.

Aku terlahir sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara, (ia mulai mengisahkan flash back) dari setiap kegiatan acara keluarga akulah yang selalu terakhir karena aku yang paling kecil, dari setiap perjumpaan kolega orang tua, mereka selalu mengatakan bahwa aku ini memiliki wajah yang berbeda dengan ke empat saudaraku, kemewahan sarana dari materi orang tua tidak membuat aku dapat menikmati semua fasilitas itu karena memang aku lah yang terkecil memiliki bagian kesempatan yang terakhir, aku tumbuh kembang dalam duniaku sendiri, dunia yang tidak mereka lihat sama, mereka tidak tahu apa yang membuatku ketakutan, apa yang membuatku menangis dan tertawa.  Kejadian demi kejadian diluar sepengetahuan keluargaku, aku simpan rapat-rapat.  Aku hanya bicara dengan seseorang yang tidak mereka lihat, dialah yang sering menguatkan aku untuk bertahan menghadapi kehidupan ini.

Ketika usia sekolah aku mulai ada keinginan untuk diakui, aku mencari sesuatu yang bisa membuat mereka bangga memiliki aku, tapi itu semua tidak pernah terjadi, kakak perempuanku sudah mulai remaja, dan semua perhatian menuju padanya sedangkan aku menjadi bahan olokan karena mereka menganggap aku cukup drama dalam hidup (sensitif/cengeng/mudah tersinggung) mereka tidak tahu ada apa sebenarnya denganku.  Bagaimana mungkin aku tidak sesensitif itu jika aku mampu mendengar/melihat/merasakan sesuatu diluar sepengetahuan mereka??  Bagaimana aku tidak menangis ketika aku mendengar suara-suara itu? atau bahkan kejadian yang akan terjadi.

Aku tidak mampu mengatakan bahwa aku seperti punya dua sisi jiwa, jiwa kekanakan dan jiwa yang terlalu tua untuk usiaku saat itu.  Aku bahkan bingung, siapa sebenarnya aku, ada apa denganku, dua sisi ini cukup membingungkanku.  Kadang tindakannya begitu meletup-letup dan berani, sedangkan sisi lain yang kekanakan membuat aku sering menangis dan mudah terharu.  Saat itu jabatan orang tuaku membuat kami berkelimpahan materi, layaknya seorang putri yang selalu disiapkan pengawal dan dayangnya yang siap melayani kapanpun itu.  Diam-diam aku membagi-bagikan apa yang aku miliki pada mereka yang tidak mampu, dan sebaik-baiknya menyembunyikan sesuatu akhirnya ketahuan juga, ayah memergokiku saat aku membungkus makanan dan beberapa barang miliku untuk aku kasihkan teman-teman ku yang kurang mampu.  Ayahku mengerti apa yang aku lakukan, dari sejak itu aku begitu dekat dengan ayah, sering kami bercerita tentang masa lalu ayah yang penuh perjuangan, hal ini mengispirasi segala ideku.

Aku tumbuh menjadi remaja yang pendiam, bahkan aku dianggap ketus hanya karena kata-kata tajamku ketika menegur suatu kesalahan, hahaha.... bagaimana aku tak menjadi ketus, aku tahu apa yang mereka sembunyikan, tujuan-tujuan buruk dll.  Semakin lama aku semakin dianggap aneh.  Aku masih bisa bertahan sampai pada suatu saat ayah meninggalkan kami untuk selamanya.  Disaat aku ingin bercerita banyak, tentang aku yang mampu meredam ketusku, aku yang bisa terbiasa dengan pakaian feminimku, aku yang mulai mengenal make up dan aku yang mulai diperhitungkan oleh sekelilingku karena kata-kataku yang sudah lebih bijak diusiaku, aku yang menjadi tempat curahan hati pasangan-pasangan rumah tangga yang bermasalah, dan aku yang mulai disegani karena aku mampu mengobati.  Aku hancur, aku frustasi, tidak ada tempat untuk bercerita lagi.

Perempuan itu mulai menitikkan air mata lagi, aku sodorkan tissue kehadapannya sambil tersenyum tanpa kata, aku tuangkan lagi green tea kedalam cangkirnya yang telah kosong, dan juga untukku sendiri.  Setelah menghapus air matanya yang mengalir tak terbendung, aku sodorkan cangkir green tea hangatnya.  Setelah menyusut air matanya ia menatapku lekat, lalu melempar pandangannya seakan mencari sesuatu dan ingin berlari sejauh mungkin.

Perempuan itu menghela nafasnya sebelum kembali bercerita, " Semakin lama aku semakin tumbuh sebagai perempuan introvet, keras dalam prinsip, karena aku tak mau diberikan peraturan maka aku berpikir untuk mandiri agar tidak bergantung pada saudara-saudaraku, ya semasa teman-temanku menikmati masa SMA yang katanya indah, aku sudah mulai bekerja, segala peluang aku kerjakan dan aku mampu membiayai diriku sendiri.  Aku sudah kebas dengan kata-kata mereka yang katanya aku ini aneh, dan akupun akan tersenyum karena akhirnya mereka memang membutuhkan aku, aku mulai diperhitungkan, setiap fase aku jalani dengan kemajuan disetiap langkah, aku semakin kecanduan dalam membuktikan siapa diriku, sampai suatu ketika aku berjumpa dengan seorang psikolog, diapun meminta aku bercerita segala macam yang bisa aku lakukan diluar normal..., ya diluar normal.  Aku bisa melakukan apa yang aku mau, menolong orang lain, bahkan mencelakakannya. (kembali sorot matanya yang tajam itu seakan menerawang jauh memendam suatu kebencian tersembunyi, seakan mampu melumat manusia habis tak tersisa, aku merinding memandang wajahnya dengan senyum diujung bibirnya terkesan begitu bengis)

Perempuan itu terdiam mematung seakan dia dalam suatu gejolak yang dasyat, aku kembali mengusap shumsuma nya, terasa olehku getaran yang kuat meronta.  Ia memegang tanganku dan mengajakku kembali duduk dihadapannya dan berkata " Duduklah dan resapi....(aku duduk dihadapannya dengan tangannya masih menggenggam lenganku) pejamkanlah mata" katanya lagi, dan aku mengikuti apa yang ia mau.  Pertama kurasakan lenganku hangat menjalar keseluruh tubuhku, pandanganku yang gelap tiba-tiba seperti berjalan dalam lorong gelap, lalu ia berkata lagi "ikuti aku...kita berjalan terus menuju ujung lorong (aku sedikit terkejut karena dia seperti memang bersamaku dan membaca pikiranku) Badanku terasa bergetar, sinar silau dihadapanku, aku seperti dibawa ke beberapa kejadian lalu perlahan meremang dan kembali pada situasi.  Aku membuka mata dan terdiam, seakan dibawa kedalam mimpi singkat, aku berusaha tenang dan memahaminya.

Lalu ia melanjutkan ceritanya, "Sebetulnya aku bisa menangani semua masalahku, tapi terkadang aku merasa terlalu letih dengan semua ini, akupun sadar bahwa aku telah tenggelam dalam ambisiku sejak aku kecil, dari semua perjalananku hampir semua adalah ambisiku, hahaha....ternyata begitu berat mengakui semua ini." (aku tersenyum) lalu ia melanjutkan perkataannya " Dan aku selalu terjebak dalam ambisiku hingga ada beberapa orang yang terkorbankan, aku akan menghentikan semua ini.  Aku benar-benar sudah lelah, sebenarnya kepada siapa aku membuktikan ambisiku? TIDAK ADA.  Aku tahu apa yang tercatat dalam pikiranmu "

 Dia menatapku tajam dan melanjutkan kata-katanya " apakah aku bipolar? apakah aku indigo? Atau ada kesalahan limbik sistem sehingga bermasalah dalam jiwaku?? Hahahaha.... Prosesku panjang kau tidak bisa mengambil kesimpulan dengan hanya mendengar ceritaku, apakah kau ingin kubawa lagi pada suatu episode di beribu tahun yang lalu?? tanyanya membuat aku tercengang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun