Mohon tunggu...
Leni Fatma
Leni Fatma Mohon Tunggu... Penulis - Mengubah luka menjadi aksara

Membias luka dengan menulis, membaca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pandemi, Rasa Simpati atau Hak yang Menjadi Prioritas?

17 Oktober 2020   19:29 Diperbarui: 17 Oktober 2020   19:39 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kita tau, enam bulan lebih Indonesia merasakan pedihnya pandemi. Semua orang terkena dampaknya. Pandemi ini belum berlalu, semoga lekas berlalu. Aamiin.

Hari ini citra sedang berjalan -jalan mengelilingi taman dengan mobil ayahnya. Citra melihat dari dalam mobil, seorang anak tengah riang bermain ayunan di taman. Dalam benaknya citra teringat, enam bulan yang lalu, bahkan sampai sekarang. Anjuran pemerintah, stay at home. Keluar jika perlu, jika penting, jika genting. Sehingga pengunjung taman tidak seramai dahulu. Hanya satu dua orang saja.

Citra masih memandangi anak itu berayun-ayun.

"Tiinn.. Tiinn.. Tiinn" Suara klakson silih berganti. Citra baru sadar, dia menghentikan mobilnya ditengah jalan.
"Astagfirullah". Citra pun langsung memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.

Setelah mobil terparkir dipinggir jalan. Citra melanjutkan pandangannya ke anak yang sedang bermain ayunan. Citra tersenyum lebar, tanpa terasa air mata mengalir.

Andaikan aku seusianya.
Andaikan aku bisa bermain sesuka hati.
Andaikan hidupku tanpa beban sepertinya.
Riang, senang, tenang. Tanpa memikirkan banyak hal.

Citra mengusap air matanya, perlahan. " You can do it!" gerutunya, menguatkan diri sendiri.

Pengusaha mikro yang nyaris bangkrut itu menghela nafas menenangkan diri. Toko yang masih seumur jagung ia bangun sebagai pekerjaan sampingan itu tak disangkanya hampir gulung tikar. Citra terlilit hutang. Tempat dia bekerja pun tidak ada kejelasan kapan upahnya akan diberikan.

Belum tagihan kosan, tagihan uang kuliahnya. Hitungan hari, jika ia tidak melunasi administrasi kuliahnya. Citra tidak bisa mengikuti ujian.

Risegn? bukan jalan keluar. Baik-baik keluar, tidak pasti upah dua bulannya dibayar cepat. Keluar saja tanpa izin, dua bulan upah tidak mungkin dibayarkan. Dua bulan upah bukan sesuatu yg mudah diikhlaskan. Apalagi mencari kerja lagi tidak semudah dulu sebelum adanya pandemi.

Menagih hak? Sementara citra tau, bosnya sedang sakit, dan keuangan perusahaan sedang carut marut. Tidak cukup itu, kerabatanyapun mengatakan, rumah tangganya sedang ada masalah.

Mogok kerja? Apa enggak malah di berhentikan tanpa hormat.

Jadi, apa yang harus iya perbuat. Bak, menelan bulat-bulat simalakama.
Menagih haknya? Atau mempertahankan rasa simpatinya?.

Sementara dari pihak atasanpun tidak mengatakan apapun, perihal maaf atas keterlambatan. Atau terimakasih atas pengertian satu bulan lalu karyawannya sudah bersedia menunggu.

Apakah ada bulan ketiga yang menunggak? Ah entahlah. Menagih hanya membuatnya pegal hati. Kalau tidak disuruh menunggu lagi, mungkin dicaci maki. "Apa kamu tidak bisa bersabar! , kami sedang mengusahakan!. Apa kamu tidak bisa sedikit saja punya rasa simpati? , pasti kami bayar.! Bos masih sakit keras! perusahaan sedang menurun pendapatannya! " Citra membayangkan cacian dari atasannya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun