"Aku capek mbak!! capek!!" Terdengar gerutuan dari balik rumah gendis.
Gendis yang seperti biasa mendampingi adiknya mengerjakan pembelajaran jarak jauh itu hanya mampu menghela nafas.
"Ayo joo sebentar lagi, anak pintar yuk sayangku" Gendis mencoba tuk membujuk adiknya.
Gendis mengerti pandemi belum berlalu. Sekolah masih juga belum dibuka, mungkin sudah untuk daerah zona hijau. Itu juga harus mengikuti protokol covid dengan ketat.
"Joo, ayo sayangku pintar. Sedikit lagi selesai" Gendis membujuk adiknya lagi.
"Mbaa, joo capek" dengan titik titik air mata, joo memohon dan memelas.
"Mba ibu guru jahat!, ngasih tugas banyak banget!. Imbuhnya lagi.
" Joo.. " Gendis mengelus Kepala Joo.
Gendis tidak tau harus berkata apa. Kewajiban Joo sebagai seorang pelajar, kebutuhan Joo agar bertambah ilmu pengetahuan. Protes? tidak mungkin. Apa bisa dikatakan pantas melakukan protes ke guru. Guru yang merupakan seorang yang berjasa mencerdaskan anak bangsa. "Alangkah tidak sopannya" gumam gendis.
"Mba, apa ibu guru ga tau. Aku kan anak baru. Baru masuk sekolah. Masa udah di kasih tugas banyak banget"
"Joo" Gendis menenangkan lagi.
"Suuttt,, coba dengerin bentar deh mba. Coba mba hitung. Ibu guru ngasih tugas dari halaman berapa sampai berapa? Aku mba, capek. Mana ga boleh main ke luar rumah. Kalau main mesti pakek masker, kan ga bisa nafas Aku mba. Jadi mainnya di rumah aja. Ga bisa keluar berenang, ga bisa main jauh-jauh. Pokoknya ga bisa seneng-seneng buat liburan. Ga bisa kemana mana mba" Imbuh Joo sembari mengusap air matanya.
Gendis yang sedari tadi mendengarkan celoteh Joo hanya bisa mendengarkan, entah apa yang mesti ia katakan pada joo adiknya. Apa yang dikatakan memang benar. Adiknya baru saja memulai sekolah di sekolah dasar.
Dengan perbandingan yang jauh di banding dulu pada saat TK. Kini Joo tambah satu tingkat dalam menempuh jenjang pendidikan.
Belum lagi dengan keadaan pandemi yang menjadikan Joo belajar dari rumah. Joo belum mengenal sekolah barunya, hanya mengenal dari mamanya. Gurunya pun hanya mengenal dari gendis yang dahulu adalah alumni sekolah situ.
Gendis membiarkan adiknya meluapkan emosi dan kekesalannya.