Mohon tunggu...
Leni Fatma
Leni Fatma Mohon Tunggu... Penulis - Mengubah luka menjadi aksara

Membias luka dengan menulis, membaca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Jangan Jadi Pemuda Pemalas!" Pesannya

12 Januari 2020   07:18 Diperbarui: 12 Januari 2020   07:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*Ssssstttt*, motor yang melaju kencang berhenti tiba-tiba.
"Mau ngapain nia?".
"Bentar mau beli ketoprak".
"1 ya mbak bungkus" sambil mengangkat jari telunjuknya, nia memesan ketoprak.
"Buat ibuku, tadi sebelum aku pergi minta".
"Ohhh" Jawabku singkat.
Sembari menunggu, kamipun ngobrol kesana kemari duduk di bangku yang berada di samping gerobak.

"Buu ini" penjual ketoprak mengulurkan plastik berisi ketoprak.
Nia membayar ketoprak itu, sementara aku langsung menuju motor.
"Alhamdulillah, wa syukurillah. Maa sya'Allah. Terimakasih ya Allah atas rezeki hari ini" ucap penjual ketoprak setelah menerima uang pembayaran.

Aku dibuatnya kaget bukan kepalang.
"Kaya pernah denger itu suara" gumamku
"Tapi dimana?" Aku semakin terheran.

Beberapa saat kemudian, aku bertanya kepada Nia.
"Kaya pernah ketemu sebelumnya Sama itu mbak penjual ketoprak"
"Itu kan yang jualan kopi, waktu itu ketemu lift"
"Hah!!, Dia juga jual ketoprak?" Aku menjawab dengan ekspresi terheran.
"Biasa aja kali, eh tau ga.. dia itu udah lama jualan disitu. Dari sebelum aku disini".

"Hah!, Emang ga sekolah? Masih muda banget dong berarti?, Emang ga sayang masih muda jualan?" Aku memberondong pertanyaan, saking penasarannya.
"Justru dia pernah bilang, mumpung masih muda mbak. Ga boleh males-malesan. Harus semangat kerja. Mungkin sekarang udah punya rumah gedong di kampungnya. Orang bayangkan udah berapa tahun jualan. Hari libur kaya sekarang aja juga jualan."
"Maa sya'Allah" mataku kemudian berbinar.

Aku? Dibandingkan dengan ibu itu bukan apa-apanya. Padahal umurnya mungkin sama. Belum lagi lisannya yang senantiasa keluar kalimah indah.

Kalimah indah itu kini menjadi khas ibu penjual itu, aku nyaris tidak mengenalinya jika ia tidak mengucapkan "Alhamdulillah, wa syukurillah" setelah menerima uang pembayaran.

"Oyy shalat, bengong aja" Nia mengangetkanku.
Kami memang berencana untuk shalat ashar, mampir di masjid dekat kantor Nia dan dekat ibu itu berjualan.
Akupun langsung menuju tempat wudhu, masih sembari terkagum-kagum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun