Mohon tunggu...
Leni Cahya Pertiwi
Leni Cahya Pertiwi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis Buku Happy Mama

Berharap dengan menulis bisa memberikan manfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Bermain di Sungai hingga Bokong Bolong

23 Juli 2021   23:29 Diperbarui: 25 Juli 2021   04:00 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Foto : Anak-Anak Main di sungai (pixabay.com)

Bicara tentang sungai mengingatkan saya akan masa kecil yang indah. Sekitar tiga atau empat puluh tahun yang lalu, sungai melambangkan dimulainya kehidupan. Sebelum subuh, sungai sudah diramaikan oleh orang-orang yang ingin menunaikan hajatnya.

Saat itu, sangat sedikit warga yang memiliki sumur atau jamban di rumah. Seluruh aktifitas cuci dan mandi dilakukan di sungai. Sungai juga dijadikan area untuk bertukar informasi. Kabar, berita, atau gossip dengan cepat menyebar di sini.

Terinspirasi oleh Pak Arif dalam  Mengenang Ular Berjanggut Putih, saya akan berbagi pengalaman masa kecil menjelajahi sungai di kampung saya.

Saat berusia sembilan atau sepuluh tahun, sungai menjadi tempat yang paling menyenangkan. Bersama teman-teman perempuan seusia, siang hari sepulang sekolah kami bermain di sungai. Berbekal kain sarung milik ibu yang kami ambil diam-diam, kami pun 'beranyut'.

Kami mengenakan kain seperti perempuan jawa mengenakan kemben. Disimpul di dada, sebelah kiri atau kanan dengan cara menyelipkan ujungnya ke dalam. Setelah dirasa cukup kuat dan tidak akan terlepas, kami kemudian menggelembungkan kain tersebut. Agak susah untuk menjelaskan caranya, tetapi prakteknya gampang kok.

Setelah menggelembung, kami menjadikannya sebagai pelampung untuk menghanyutkan diri mengikuti arus sungai. Teringat  kejadian ini, saya jadi malu sendiri. Bukan apa-apa, kain yang tadinya berfungsi menutup aurat dari dada hingga lutut, setelah berubah jadi pelampung kehilangan fungsi utamanya.

Aurat kami jadi terbuka. Bokong kami akan terlihat jelas ketika 'beranyut' dengan posisi tengkurap. Kalau posisi telentang? Ya, gitu deh. Namun kami jarang melakukannya.

Dari tepian perempuan, kami akan melewati tepian lelaki. Selanjutnya kami akan melewati satu  tepian perempuan lagi,  di bagian hilir. Oh ya, tepian dalam bahasa kampung saya artinya tempat mandi. Jadi, jangan heran kadang sumur yang dijadikan tempat mandi pun disebut tepian.

Puas menghanyutkan diri, kami kemudian berjemur di pinggir sungai. Istirahat sejenak, untuk aktivitas berikutnya. Melompat! Ya, melompat dari ketinggian sekitar dua meter, dari atas tebing sungai.

Saat itu masih banyak batu-batu besar tersebar dalam sungai. Sebagian ada yang terlihat, sebagian lagi bersembunyi di kedalaman air.

Adakalanya kami bernasib sial, tubuh kami jatuh mendarat pada batu. Rasanya lumayan sakit. Namun, dasar anak-anak kami tak mengacuhkannya. Kecuali jika memang sampai membuat kaki keseleo dan patah. Jera? Tentu saja tidak.

Jika hari masih siang, terkadang kami meneruskan perjalanan ke bagian muara sungai. Di sana ada bendungan yang digunakan sebagai irigasi untuk mengairi sawah. Jika musim menanam, airnya akan dibendung lalu dialiri ke sawah-sawah penduduk. Saat musim panen, bendungannya dibuka.

Irigasinya masih sangat sederhana. Sungai dibendung menggunakan papan tebal yang disusun horizontal. Ketinggian bendungan bisa diatur dengan banyaknya jumlah papan.

Kami selalu menantikan musim tanam, sebab sungainya akan dibendung. Saatnya mandi di 'kolam besar'. Berenang dan menyelam hingga mata memerah yang terkadang membuat emak marah.  

Saat bendungan ditutup tidak semua air dialirkan ke sawah.  Masih ada bagian kecil yang tetap mengalir di sungai. Air itu melewati sela-sela papan penahan dan bagian atas bendungan.

Air yang mengalir di sungai ini tidak langsung jatuh ke bawah, seperti air terjun. Namun ada tempat mengalir yang terbuat dari semen, dibuat miring dengan sedikit lekukan. Bentuknya mirip seperti seluncuran.

Nah, seluncuran ini merupakan salah satu tempat favorit bagi saya dan teman-teman. Lumut yang menempel pada semen membuat permukaannya licin, sangat cocok untuk meluncur.

Bermodalkan singlet sebagai baju renang kami meluncur senang. Terkadang, saking asiknya meluncur, kami tidak sadar singlet telah bolong. Gesekannya dengan semen membuat singlet yang tipis jadi sobek. Sembari menahan malu, kami pulang dengan singlet  bolong dibagian bokong.

Aktvfitas lain yang tak kalah menyenangkan adalah menangguk ikan. Saya bersama teman-teman membawa 'tangguk' yang terbuat dari anyaman bambu. Jika tak punya, kami akan 'meminjam' tudung saji yang dialihfungsikan sebagai tangguk.

Kadang kami menangguk secara berkelompok. Tak jarang kami melakukannya sendiri-sendiri. Jika berkelompkk, kami berbagi tugas. Ada yang bertugas sebagai penangguk, yang lainnya bertugas mengaduk-aduk bagian sungai yang dianggap banyak ikannya. Tugas paling ringan adalah menjadi tukang sorak, hehehe.  

Hasil tangkapan biasanya kami bawa pulang ke rumah. Kami masak sendiri atau diserahkan ke orangtua.

Itulah sedikit pengalaman masa kecil menjelajahi sungai di kampung saya.

**

Catatan : Beranyut = Menghanyutkan diri di sungai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun