Paksu menerangkan kalau kami ingin melihat kondisi anak yang sedang sakit dan menyerahkan obat untuknya. Kemudian beliau menambahkan usaha kami untuk menemui anak bujang tidaklah mudah. Perjalanan jauh dan melelahkan, serta tugas yang ditinggalkan. Â
"Keadaan Ghazy sudah membaik, Pak. Demam dan batuknya sudah berkurang. Dua hari yang lalu saya menerima paket yang dikirimkan orangtua untuknya." Pandangannya sedikit menyelidik.
"Memang benar Pak. Kami tahu dia sakit setelah paketnya terkirim. Kebetulan kami juga mengantarkan anak gadis ke Payakumbuh, jadi sekalian kami mampir untuk melihat kondisi Ghazy. Kami menghawatirkannya." Panjang lebar Paksu menjelaskan. Wajah satpam itu sedikit melunak.
"Sebenarnya selama korona orangtua tidak diperkenankan bertamu, Pak." Dia masih berusaha menolak. Namun bagiku, kalimatnya memberi sedikit harapan.
Paksu terus berusaha agar kami diizinkan bertemu anak bujang. Mungkin kasihan melihat wajahku dan paksu yang memelas, satpam itu akhirnya memberikan izin. Dia lalu meminta seorang santri yang kebetulan lewat untuk memanggil anak bujang.
Tak lama terlihat sosok anak bujang berjalan ke arah kami. Dia terlihat sedikit kurus dibandingkan saat kami mengantarkannya. Satpam menghentikan langkahnya pada palang 'batas santri'. Saya dan paksu hanya bisa memandangnya dari gerbang.
Dia terlihat gelisah, ingin mendekat, tetapi satpam yang berdiri mengawasi tak memberinya kesempatan. Kondisi itu pun membuat saya kurang nyaman. Tak banyak yang bisa saya ungkapkan.
Setelah menanyakan keadaan, memberikan petatah-petitih, saya lalu berjalan ke arahnya ingin memberikan bungkusan jeruk dan obat-obatan yang saya bawa. Satpam yang masih mengawasi langsung menegur, dia menunjuk ke suatu tempat agar saya meletakkan bungkusan itu di sana. Meski kesal saya terpaksa mengikuti perintahnya. Anak bujang pun terlihat kurang senang.
Kembali memandangi wajahnya, benak saya berpikir bagaimana caranya agar bisa memeluknya. Berbagai ide muncul di kepala. Saya menangis memelas pada satpam untuk bisa memeluknya sekejap saja. Nanap satpam itu mengiyakan. Tak buang waktu saya memeluknya, kami berdua saling melepas rindu.Â
Paksu berdehem mengisyaratkan untuk pamit, saya kaget. Lamunan pun buyar. Anak bujang masih berdiri di 'batas santri' dan saya di gerbang masuk. Tak ada pelukan, ternyata saya hanya mampu berkhayal.Â
Sebelum pamit saya pandangi kembali anak bujang. Dengan raut muka sedih dia mamandang saya lekat-lekat, seakan ingin menyampaikan sesuatu. Saya tak bisa membaca apa pesannya, hanya mampu menghibur dengan kata-kata.