*****
"Kalau beli nasi ampera, enaknya dibungkus Bu. Kalo kita makan di rumah makannya porsinya sedikit. Paling dua ini," dia merapatkan jari-jarinya, membentuk lengkungan setengah lingkaran. Bagiku, dua cangkup tangannya itu sudah cukup mengenyangkan.
"Kalau hari minggu, kami kan sekali sebulan boleh keluar asrama Bu. Itu... kalau adik minta Bang Ikhsan izin ke ustad." Ikhsan adalah kakak Atikah yang juga kuliah di Padang, dia kos di tempat khusus pria. Sekali sebulan para santri memang boleh dibawa keluar asrama oleh orangtua atau wali, dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore.
Ikhsan biasanya aku tugaskan untuk menjemputnya. Karena Ikhsan jarang keluar rumah, Ghaazy bosan juga hanya duduk-duduk di kosan. Dia memintaku agar Ikhsan menjemputnya keluar asrama, nanti bersama temannya yang lain yang juga dijemput walinya_biasanya para santri yang orangtuanya dari luar kota Padang, mereka akan berpetualang di sekitar kota Padang, di daerah sekitar asrama. Berjalan kaki, ke arah yang sudah mereka rencanakan.
"Untuk makan siang, kami biasanya beli nasi ampera Bu. Nasinya kami bungkus, nanti kami cari tempat yang tenang buat makan," Dia melanjutkan ocehannya.
"Kalian makan di mana? Salat zuhur di mana?" Aku kepo was-was mendengar ceritanya. Mereka remaja tanggung yang sangat mudah dipengaruhi. Emosinya juga masih kurang stabil. Aku takut mereka bertemu remaja lainnya, lalu saling ejek. Kemudian berantam. Hiii... ngeri.
"Sebelum azan zuhur, kami biasanya sudah di masjid Bu. Kadang teman adik yang jadi muazinnya. Dia kan suaranya bagus" jawabannya menenangkanku.
"Kok bukan adik yang azan?" Maklumlah emak-emak, tak ingin anaknya  kalah oleh anak lainnya.
"Ga ah, suara adik kan tidak sebagus dia," Sambil mengunyah nasinya dia menjawab, nyengir.
"Sesekali kami beli nasi bungkus tapi makannya di sana_di rumah makan tersebut," aku mengerutkan kening.