Mohon tunggu...
Leni Wulansari
Leni Wulansari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

kaki boleh pecah2 tapi sudah ada surganya (katanya)... amiinnn :)\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Muara BKT_Potensi 'Sisi Lain' Jakarta

5 Mei 2014   22:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mencoba menelusuri BKT (Banjil Kanal Timur) sampai ke ujung utara yang menembus laut Jakarta? Bukan, bukan lewat kanalnya, tapi lewat jalanan di kedua sisinya. Kalau dari hulunya BKT di Cipinang sampai Duren sawit mungkin sudah biasa dilewati karena itu memang jalan raya dengan ukuran cukup besar dan dilintasi dua arah jalur kendaraan yang selalu ramai. Tapi kalau dari arah Pulogebang sampai ke ujung Maruda sana, mungkin belum begitu banyak yang tahu. Jalan di kedua sisinya selebar +/- 6 meteran, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Walaupun begitu, sekarang ini jalan BKT menuju Marunda ini sudah aktif digunakan para pengendara roda dua atau empat sebagai jalan alternatif. Malah, bis dan truk kecil aja udah ikutan pakai jalan ini.

[caption id="attachment_306118" align="aligncenter" width="314" caption="-Bis melenggang di BKT-"][/caption]

Saya ini tadinya nggak mau banget kerja di Marunda. Terdengar jauh di ujung dunia. Tapi karena (salah satunya) ada akses ini, saya terima aja nasib terdampar disana. Setiap hari kerja, saya melalui jalur BKT yang menuju laut ini. Selain bisa terhindar dari kemacetan dan nginjek gas pol seperti di jalan tol, yang paling asyik menurut saya, pemandangannya itu lega, nggak bikin sumpek.

Kurang tahu juga, apakah sebetulnya jalanan itu resmi boleh digunakan oleh masyarakat umum atau tidak. Melihat ukuran jalan yang nggak besar, ada kemungkinan jalanan itu tadinya hanya untuk akses perawatan BKT. Melihat jarangnya atribut lalu lintas yang minim di sepanjang jalan (kecuali untuk pengendara sepeda), kayaknya jalanan itu juga tidak dipersiapkan untuk menjadi jalan raya. Tapi seperti air yang selalu mengalir mencari celah kosong, begitupun para pengendara di Jakarta, selalu mencari jalan alternatif demi menghindari kemacetan. Nggak ada lagi status jalan tikus sekarang, karena harimau pun tau kemana harus lewat kalau antrian udah panjang mengular.

Maka tak peduli lagi memang diperuntukkan untuk jalan raya atau tidak, toh sekarang jalanan ini sudah ramai sekali. Apalagi saat jam sibuk di pagi dan sore hari. Jika setahun yang lalu kita masih bisa leluasa berlenggang di jalanan ini, sekarang jangan harap. Lalu lintas sudah padat. Tanpa disadari, penggunanya sendiri yang jadi marketing penyebar info jalan alternatif ini. Semua orang memang berhak kok, asalkan tertib dan saling menghargai di jalanan, nggak akan ada masalah.

Yang jadi masalah kemudian adalah kalau ada pemakai jalan yang hanya mendahulukan kepentingan pribadinya. Misalnya motor-motor yang seenaknya diparkir karena ditinggal empunya mancing di sungai. Atau lapak kaki lima di lahan pertigaan jembatan, yang setiap sore digelar untuk jualan segala macem barang, mulai dari ikan-ikanan, yang jelas ada hubungannya ama sungai, sampai baju atau kerupuk peyek, yang sama sekali nggak ada hubungannya ama per-sungai-an. Walhasil, motor atau mobil sering mendadak berhenti untuk datengin lapak. Terus, kalau udah banyak yang ngerubutin, biasanya yang lain latah, penasaran itu jualan apa, akhirnya ikutan berhenti untuk belanja atau sekedar liat-liat. Lah yang mau lewat harus melipir-melipir permisi kayak kita yang bersalah ngambil jalannya.

[caption id="attachment_306119" align="aligncenter" width="314" caption="-Lapak Dadakan BKT-"]

1399277525126298801
1399277525126298801
[/caption]

Lalu sejauh apa pengaturan dari pihak berwenang tentang jalur BKT ini? Di sisi satunya, memang sudah banyak tanda untuk jalur pe-sepeda. Tapi itu sama sekali nggak efektif. Masih banyak motor dan mobil lewat situ, padahal udah jelas katanya untuk yang naik sepeda. Gimana nggak lewat, yang naik sepeda aja jarang ada, akses jalannya juga nggak ditutup sebagian, sangat memungkinkan untuk mobil masuk, apalagi motor. Terus mereka tancap gas ngebut-ngebut deh disitu karena kosong.

Kalau memang akses ini sudah cukup ramai, semestinya ada pengaturan yang lebih intens. Misalnya sisi kiri hanya untuk kendaraan roda empat, sisi kanan hanya untuk roda dua, atau dibuat lalu lintas searah di setiap sisi. Atau lebih dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas dan lampu jalan. Kalau sudah menjelang malam, disini katanya sering terjadi tindak kriminal dan kecelakaan karena gelap gulita. Memang, kalau sudah ramai menjadi konsumsi publik, resiko pun bertambah. Yang saya lihat dengan mata kepala sendiri saja, dalam tiga bulan terakhir ini, sore-sore masih terang, ada dua motor dan satu mobil yang nyungsep ke bawah. Yang motor langsung ke sungai, yang mobil ke sisi sawah. Yah, mudah-mudahan itu kejadian pertama dan terakhir.

Pihak berwenang pun sebetulnya bisa memanfaatkan keindahan BKT ini jadi potensi pariwisata. Dengan merapikan jalanan, menambah aksesories lampu cantik, menanam tumbuhan hias, atau membuat wisata air di atas kanal BKT, mungkin bisa menambah fungsi BKT itu sendiri. Sama seperti sisi BKT di bagian dekat hulu, alias sepanjang Duren Sawit. Paling, muncul pertanyaan kemudian, sekarang aja Duren Sawit kalau malem malah dijadiin tempat mesum pasangan ama pesta balapan liar, apalagi disana yang lokasinya mojok. Belum kalau orang-orang buang sampah sembarangan. Apa nggak nambah kekacauan fungsi BKT. Hhhfff.

Iya bener banget, sederet tantangan masalah terdaftar sama seperti sederet potensi untuk pembenahan. Tapi saya nggak mau pesimis berharap, pasti Bapak Ibu di pemerintahan bisa lah bikin plot plan yang lebih canggih, apalagi kalau minta masukan dari anggota DPR yang sering uji banding ke negara maju. Pasti nggak mau ngeliat ada potensi nganggur dan berujung semrawut. Kita mah yang rakyat ngikut aja, yang penting tertib. Yang pake jalan tertib, yang ngatur jalan juga harus tertib. Jangan nyari pungli para PKL yang nggak di tempatnya, terus nanti kalau udah digebrak pemimpinnya, barulah latah nertibin bikin razia.

Akhir kata, hanya berharap ada pembenahan di ujung muara BKT, supaya bisa nambah koleksi 'sisi lain' Jakarta yang layak untuk dikunjungi.

[caption id="attachment_306120" align="aligncenter" width="314" caption="-Latihan Dayung di BKT-"]

13992775541111126880
13992775541111126880
[/caption]

Note :

- Kesalahan bukan ada pada mata anda, tapi fotonya emang burem semua. Maklum diambil dari HP Be-es Be-es saat menjelang petang sepulang kerja

- Kejadian kecelakaan tentu nggak difoto karena nggak tega, tapi beneran liat dengan mata kepala sendiri.  No Hoax

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun